Oleh Dudy Oskandar (Jurnalis dan Peminat Sejarah Sumatera Selatan) SELAMA beberapa abad orang Hindia Belanda lebih mengenal malaria atau cacar sebagai momok mematikan dari pada penyakit Kolera. Namun sejarawan Anthony Reid meragukan pandangan bahwa kolera baru merambah Hindia Belanda pada abad ke-19. “Kolera berat dalam bentuk asiatica atau morbus biasanya dipandang belum sampai ke Asia Tenggara sebelum pandemik parah tahun 1820-1822. Alasan-alasan bagi pandangan ini, sebagaimana halnya dengan pandangan-pandangan yang sama tentang wabah pes sebelum tahun 1911, tidak meyakinkan,” tulis Anthony Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga jilid I (2014: 70). Saat pemerintah kolonial Belanda menyiapkan kampanye penaklukan Aceh pertama pada 1874, wabah kolera rupanya melanda wilayah tersebut. Orang-orang tumbang akibat penyakit itu, membuat perang sempat terhenti untuk sementara waktu. Kolera pun sejatinya terjadi secara sporadis di sejumlah wilayah Jawa dan Sumatera pada abad ke-19. Tiga dekade kemudian, kolera menjadi penyakit mematikan yang melanda nyaris seluruh pulau dalam administrasi pemerintahan Hindia-Belanda. Dalam laporan milik pemerintah Inggris, disebutkan kolera menjangkiti penduduk Jawa, Sumatera, Kalimantan, Bali dan Lombok pada tahun 1909. Semarang jadi kota yang paling menderita. Total ada 3.028 di daerah tersebut, dengan jumlah kematian mencapai 2.595 orang. Kemudian ada Surabaya dengan 1.726 kasus dengan jumlah korban meninggal mencapai 630 jiwa. Di Batavia sendiri dikonfirmasi ada 989 kasus dengan korban jiwa 623 orang. Lalu menyusul Sidoarjo (727 kasus, 553 meninggal) dan Pasuruan (200 kasus, 195 meninggal). Pada tahun 1911 hingga 1912, terjadi gelombang kedua wabah kolera. Kali ini bahkan mencapai Sulawesi dan Maluku. Jawa kembali jadi pusat penyebaran wabah, dengan jumlah kematian mencapai lebih dari 5.000 jiwa. Sementara itu, dalam laporan milik Departemen Kesehatan Amerika Serikat periode Juli-Desember 1915, kolera terjadi di Batavia dengan kasus pertama dikonfirmasi pada 3 September 1915. Sumber lain menyebutkan kolera, baru berhasil diidentifikasi pada 1883. Bahkan, sampai setidaknya 1860-an, tenaga kesehatan masih berdebat apakah kolera itu penyakit menular atau bukan. Kondisi itu membuat korban kolera selama masa epidemi membengkak. Sepanjang 1821 sekira 125.000 orang di Jawa meninggal dunia gara-gara kolera. Tak hanya berjangkit di permukiman pribumi dan China, kolera juga berjangkit di permukiman orang Eropa yang sebenarnya lebih baik kondisinya. Banyaknya pasien kolera di Batavia bahkan sampai membuat tenaga medis yang jumlahnya tak seberapa saat itu kewalahan. Kolera kemudian jadi wabah musiman karena lambannya penanganan. Penyakit ini dengan cepat melejit jadi urutan ketiga penyakit yang paling fatal setelah cacar dan tifus dalam kurun 1800-1880. Dan lagi, epidemi 1820-1821 itu baru babak awal dari beberapa epidemi kolera yang mengguncang Hindia Belanda hingga paruh pertama abad ke-20. Wabah kolera yang besar terjadi lagi pada 1881-1882, 1889, 1892, 1897, 1901-1902, dan 1909-1911. Dari serentetan epidemi itu yang paling parah adalah epidemi 1909-1911. Bermula dari Jambi, wabah lalu menyebar ke daerah lain di Sumatra, Jawa, dan Madura. Dalam tahun 1910 saja diperkirakan 60.000 jiwa meninggal dunia di Jawa dan Madura. Sama halnya Palembang, juga sempat mengalami teror penyakit demam pada tahun 1819. Catatan paling jauh tentang riwayat wabah demam di Hindia-Belanda ini berasal dari awal abad ke-19. Dalam buku Jakarta a History (Susan Abeyasekere, 1989), disebutkan bahwa sebuah wabah penyakit demam melanda Batavia. Baik penduduk biasa hingga pegawai kolonial menjadi korbannya. Sebelumnya setelah Sultan Thaha Saifuddin, Jambi gugur tangga 27 April 1904, Belanda secara utuh menempatkan wilayah kerajaan Jambi sebagai bagian wilayah kekuasaan Kolonial Hindia Belanda. Jambi kemudian berstatus Under Afdeling di bawah Afdeling Palembang. Pada Tahun 1906 Under Afdeling Jambi ditingkatkan sebagai Afdeling Jambi kemudian di tahun 1908 Afdeling Jambi menjadi Kerisidenan Jambi dengan residennya O.L. Helfrich berkedudukan di Jambi. Sampai masa Kemerdekaan pejabat Residen dari Keresidenan Jambi berkedudukan di Jambi. Setelah Republik Indonesia di Proklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945, berdasarkan berita RI Tahun II No. 07 hal 18 tercatat untuk sementara waktu daerah Negara Indonesia di bagi dalam 8 Provinsi yang masing – masing dikepalai oleh seorang Gubernur diantaranya Provinsi Sumatera. Provinsi Sumatera ini kemudian pada tahun 1946 dibagi lagi dalam 3 sub Provinsi yaitu Sub Provinsi Sumatera Utara, Sub Provinsi Sumatera Tengah dan Sub Provinsi Sumatera Selatan. Keresidenan Jambi dengan hasil voting dimasikan ke dalam wilayah Sub Provinsi Sumatera Tengah. Residen Jambi yang pertama di masa Republik adalah Dr. Asyagap sebagaimana tercantum dalam pengumuman Pemerintah tentang pengangkatan residen, Walikota di Sumatera dengan berdasarkan pada surat ketetapan Gubernur Sumatera tertanggal 03 Oktober 1945 No. 1-X. Pada tahun 1945 tersebut sesuai Undang-undang no.1 tahun 1945 wilayah Indonesia terdiri dari Provinsi, Karesidenan, Kewedanaan dan Kota. Tempat kedudukan Residen yang telah memenuhi syarat, disebut Kota tanpa terbentuk struktur Pemerintahan Kota. Dengan demikian Kota Jambi sebagai tempat kedudukan Residen Keresidenan Jambi belum berstatus dan memiliki pemerintahan sendiri. Kota Jambi baru diakui berbentuk pemerintahan ditetapkan dengan ketetapan Gubernur Sumatera No. 103 tahun 1946 tertanggal 17 Mei 1946 dengan sebutan Kota Besar dan Walikota pertamanya adalah Makalam. Mengacu pada Undang-undang No. 10 tahun 1948 Kota Besar menjadi Kota Praja. Kemudian berdasarkan Undang-undang No. 18 tahun 1965 menjadi Kota Madya dan berdasarkan Undang-undang No. 22 tahun 1999 Kota Madya berubah menjadi Pemerintah Kota Jambi sampai sekarang. *** Sumber : 1. https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbkepri/wabah-kolera-di-keresidenan-jambi-1909 2. Yuni Trijayanti. 2021. Wabah Penyakit Kolera Di Keresidenan Jambi 1909-1924. Skripsi, Program Studi Ilmu Sejarah, Jurusan Sejarah, Seni dan Arkeologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Jambi 3.https://sulsel.idntimes.com/life/education/ahmad-hidayat-alsair/rentetan-sejarah-wabah-pada-masa-kolonial-hindia-belanda 4. https://tirto.id/gara-gara-sanitasi-buruk-wabah-kolera-melanda-hindia-belnda- 5. https://jambikota.go.id/new/sejarah-kota-jambi/
Wabah Penyakit Kolera di Jambi 1909 (Bagian Pertama)
Senin 13-06-2022,08:18 WIB
Reporter : Tom
Editor : Tom
Kategori :
Terkait
Sabtu 23-11-2024,18:09 WIB
Juaranya Berusia 597 Tahun, Inilah 3 Kota Tertua di Jawa Barat, Tempat Kamu Tinggal?
Minggu 27-10-2024,13:11 WIB
Sejarah BRI, Berdiri di Zaman Kolonial hingga Menjadi Bank dengan Aset Terbesar di Asia Tenggara
Rabu 19-06-2024,06:17 WIB
Inilah 3 Kota Tertua di Jawa Barat, Nomor 1 Berusia 596 Tahun, Bisa Tebak?
Minggu 28-01-2024,11:08 WIB
Sempat Jadi Asrama TKR, Inilah Kota Tua Peninggalan Belanda di Jambi, Dibiarkan Terbengkalai?
Terpopuler
Sabtu 30-11-2024,09:58 WIB
Awan Mendung Berpotensi Hujan Mengguyur Kota Palembang, Intip Prakiraan Cuaca BMKG Wilayah Sumsel Hari Ini
Sabtu 30-11-2024,09:29 WIB
Jadwal Sholat 5 Waktu Hari Ini 30 November 2024 untuk Wilayah Palembang dan Sekitarnya
Sabtu 30-11-2024,06:49 WIB
Update BMKG, Gempa 4.7 Guncang Melonguane Sulut, pada Kedalaman 123 Km, Tak Berpotensi Tsunami
Sabtu 30-11-2024,10:17 WIB
Harga Emas UBS, Galeri 24 dan Antam di Pegadaian Hari Ini 30 November 2024 Tidak Berubah
Sabtu 30-11-2024,05:22 WIB
PGN LNG Indonesia Capai Rekor Luar Biasa, Catat Penyaluran Gas Tertinggi di Tahun 2024
Terkini
Sabtu 30-11-2024,22:08 WIB
Kolaborasi BCA dan TULOLA Luncurkan Koleksi Art Wear Terbaru 'Garden of Wishes'
Sabtu 30-11-2024,21:59 WIB
Make Over Gelar Yoga Class, Eksklusif untuk Customer Loyal
Sabtu 30-11-2024,21:53 WIB
Astra Motor Sumsel Ajak Generasi Muda untuk Wujudkan Budaya Keselamatan Berkendara
Sabtu 30-11-2024,21:39 WIB
infinix Zero 30 Smartphone Punya Spesifikasi Dewa
Sabtu 30-11-2024,21:29 WIB