Sebagaimana diketahui, pembiayaan untuk pelatihan dan pelaksanaan Uji Kompetensi Wartawan (UKW) dalam 3 tahun terakhir dapat terlaksana karena dimasukkan dalam program prioritas pemerintah oleh Bappenas yang disetujui Kementerian Kominfo.
Anggarannya mencapai tidak kurang dari Rp 10 milyar pertahun, atau secara keseluruhan dari tahun 2020, 2021, dan 2022, sekitar Rp 35 milyar, untuk pelatihan dan uji kompetensi wartawan bagi sekitar 5.000 wartawan.
Kalau saja masalah Tunjangan Sertifikat Kompetensi Wartawan ini dianggap sebagai penting dan dijadikan program prioritas, bisa saja Bappenas membahasnya bersama Dewan Pers lalu mencarikan dananya melalui Kementerian Kominfo.
Tetapi tentu saja Dewan Pers harus bertemu dengan seluruh konstituen dan masyarakat pers, untuk mendiskusikan secara mendalam, dengan berbagai sudut pandang agar keputusanya mantap: mencederai kemerdekaan pers atau memang ada manfaatnya bagi wartawan sebagai tulang punggung perusahaan pers.
Bisa juga dimulai dengan survei kepada anggota organisasi wartawan, agar dapat memetakan suara hati mereka.
Dasar keputusannya haruslah kesejahteraan wartawan agar mereka dapat bekerja sebagai pelayan publik yang kompeten, taat pada Kode Etik Jurnalistik, membuat karya sesuai standar jurnalistik, yang bermanfaat bagi masyarakat, bangsa, dan negaranya.
Yang pasti, wartawan harus selalu independen, apakah dia mendapat tunjangan profesi ataupun tidak.
Kita ini tidak salah sering dianggap munafik. Menolak amplop, menolak pemberian, tetapi mau menerima undangan dengan kelas bisnis, layanan VIP, atau uang saku dolar melebihi standar.
Kita tidak mau diberi negara tetapi senang hati meminta ke lembaga asing, kedutaan besar negara asing, dan perusahaan yang rekam jejaknya buruk. Lalu independensinya dimana? Wallahualam bissawab. ***