PALEMBANG, PALPRES.COM – Tumbe merupakan alat pengeras suara yang berfungsi sebagai penyampai berita kepada masyarakat.
Benda bersejarah peninggalan Depati Pangeran Haji Wancik bin Depati Pangeran Haji Agustjik Kertamenggala bin Pangeran Fekir ini menambah koleksi Museum Negeri Sumatera Selatan, Balaputra Dewa yang di hibahkan keluarga Depati Pangeran Haji Wancik
Sebelumnya, sudah ada dua benda bersejarah lainnya milik Depati Pangeran Haji Wancik dihibahkan kepada Museum Negeri Sumsel, yakni Pedati Pangeran dan saringan air minum dari batu.
“Alhamdulillah, kita kembali mendapat hibah dari keluarga Depati Pangeran Haji Wancik berupa tumbe atau kentongan,” kata Kepala Museum Negeri Sumsel, H Chandra Amprayadi.
BACA JUGA:KH Abdulrahman Delamat Keliling Sumsel Bangun Hingga 40 Masjid
H Chandra menjelaskan, Tumbe memiliki panjang tiga meter dengan berat 300 kg berjenis kayu laban. Seperti diketahui, jenis kayu laban ini memiliki tingkat kekerasan yang cukup tinggi. Bahkan ketika pohon laban hangus terbakar api, pohon ini mampu hidup kembali.
“Dari tumbe ini selanjutnya digunakan untuk alat pengeras suara. Fungsinya sebagai pemberitahuan kalau ada bencana seperti kebakaran, pembunuhan, huru hara dan lainnya,” jelas H Chandra.
Selain itu, kayu ini juga sengaja dibunyikan untuk mengumpulkan masyarakat sebagai undangan menghadiri rapat pedesaan, pernikahan dan sedekah dusun. Irama suara dari bunyi ini beragam tergantung dari isi pesan yang akan disampaikan.
“Kami sangat bahagia sekaligus mengucapkan terima kasih kepada keluarga Pangeran Wancik dari Kedaton OKU yang sudah menghibahkan benda bernilai sejarah kepada Museum Negeri Sumsel Balaputra Dewa. Awal tahun 2021 kemarin, keluarga Pangeran Wancik sudah menghibahkan pedati pangeran dan saringan air minum dari batu, dan tahun ini kembali menghibahkan berupa tumbe,” ucapnya.
BACA JUGA:Disbudpar Sumsel dan Museum Negeri Sumsel Gagas Penggalangan Dana Beli Rumah Pangeran Sjafe’i
Sementara itu, Tokoh Adat Desa Kedaton, Kadir, mengatakan, Tumbe ini sudah ada sejak tahun sekitar 1930an. Masyarakat biasanya menggunakan tumbe sebagai penyampai berita dengan suara yang berbeda.
“Jika suaranya besar untuk memberitahu ada bencana besar, namun jika suara gong-gong saja biasanya untuk mengumpulkan masyarakat saja,” katanya.
Lebih jauh Kadir menjelaskan, posisi tumbe tidak digantung namun hanya digulingkan dengan sandaran dua kayu lainnya.
“Cara memukulnya dengan kentongan kayu juga, namun suaranya besar dan bisa didengar oleh masyarakat di desa,” kata dia.
BACA JUGA:Motivasi Museum Penghulu Muhammad Soleh, H Chandra Hibahkan Koleksi Pribadinya