PALEMBANG, PALPRES.COM - Kota Palembang dikenal sebagai Kota tertua di Indonesia yang memiliki sejumlah tradisi yang beragam dan unik, berupa sejarah, budaya dan keseniannya.
Kesenian di Palembang menjadi bagian kebudayaan dan ciri khas Kota Palembang yang memiliki keunikan dan keindahan yang patut di lestarikan.
Sehingga lewat kesenian inilah, dapat mengungkapkan tradisi seni dan budaya khas Kota Palembang.
Namun, seiring perkembangan zaman, kesenian tersebut sudah jarang ditemui bahkan hampir punah tergerus zaman. Oleh sebab itulah, masyarakat kota Palembang khususnya generasi muda untuk mengetahui kesenian Palembang dan melestarikannya sehingga tetap eksis di kalangan masyarakat.
BACA JUGA: Penting, Ini 5 Suku di Sumatera Selatan yang Kalian Wajib Tahu
Berikut sejumlah kesenian di Palembang yang nyaris punah, yang dikutip Palpres.com dari berbagai sumber.
1. Teater Dulmuluk
Teater Dulmuluk sampai sekarang ini telah menjiwai dalam kehidupan masyarakat Sumatera Selatan. Teater Dulmuluk itu sendiri adalah teater tradisional Sumatera Selatan yang lahir di Kota palembang.
Awal mula terbentuknya teater ini adalah berupa pembacaan syair oleh Wan Bakar yang membacakan tentang syair Abdul Muluk disekitar rumahnya di Tangga Takat 16 Ulu pada tahun 1854.
Agar lebih menarik pembacaan syair kemudian disertai dengan peragaan oleh beberapa orang ditambah iringan musik gambus dan terbangan. Acara itu menarik minat masyarakat untuk datang berkumpul.
BACA JUGA:Wajib Diketahui! Inilah 5 Tradisi Adat di Sumsel Yang Hampir Punah
Pada tahun 1860 syair ”Kejayaan Kerajaan Melayu” juga diterbitkan di Singapore dalam bahasa Melayu oleh Syaidina dan Haji M. Yahya.
Pada tahun 1893 Dr. Philipus mencetak kembali dengan menggunakan bahasa Latin, diterbitkan oleh Tijschrift Van Nederlands India di Roterdam. Kemudian muncul sebuah buku yang diterbitkan oleh De Burg Amsterdam dengan judul ”Syair Abdul Muluk”, dalam buku ini banyak mengalami perubahan-perubahan seperti: Berbahan menjadi Berhan, Siti Arohal, Bani menjadi Siti Roha, Abdul Roni menjadi Abdul Gani dan sebagainya. Perubahan tersebut karena penyesuaian ejaan waktu itu (genre).
Kesenian Dulmuluk telah bertahan cukup lama dan telah menjadi semacam ekspresi estetik masyarakat dalam tiap-tiap daerah atau suku yang tersebar di seantero Sumatera Selatan.
Sejalan dengan itu, kesadaran sosial budaya masyarakat pun semakin menguat, bahwa upaya mempertahankan keberadaan berbagai gendre tradisi lisan di Sumatera Selatan, khususnya Dulmuluk merupakan salah-satu bentuk semangat kolektif, sekaligus menjadi bagian dari harga diri dan identitas masyarakat di daerah ini sampai sekarang ini masih tetap eksis.
BACA JUGA:7 Tarian Tradisional Sumatera Selatan, Wong Kito Galo Wajib Tau!
2. Wayang Kulit Palembang
Wayang Kulit Palembang adalah sebuah bentuk wayangan dengan visi dan versi dari masyarakat Palembang itu sendiri.
Jenis kesenian ini diperkirakan tumbuh pada sekitar abad 19 (tahun 1800-an) pada masa pemerintahan Aryo Damar atau Aryodillah.
Bentuk fisik wayang Palembang sama dengan yang ada pada wayang purwa milik di Jawa sehingga yang membedakan di antara keduanya adalah bahasa pengantarnya di mana wayang kulit Palembang menggunakan bahasa Palembang baik baso Sari-sari maupun Bebaso.
Menurut Dekan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Raden Fatah Palembang Dr Endang Rochmiatun M Hum, keberadaan Wayang Palembang merupakan hasil akulturasi budaya Jawa dengan Palembang.
BACA JUGA:Kenali Perbedaan Wayang Palembang dengan Wayang Jawa
Ada beberapa perbedaan di antara dua seni budaya tersebut, perbedaan yang mencolok dilihat dari penggunaan bahasa.
Wayang Palembang dimainkan dengan menggunakan bahasa Melayu Palembang, yang merupakan bahasa asli Palembang dan memiliki kemiripan dengan bahasa Jawa.
"Sementara Wayang Purwa menggunakan bahasa Jawa dan perwatakan tokohnya menggunakan aturan aturan klasik yang harus diikuti," katanya.