Kalau Muhammad Arsyad Al-Banjari, lanjut dia, karena beliau hidup di abad 18 yang waktu itu belum ada konflik yang terbuka antara Kesultanan Banjar dengan kolonial Belanda, sehingga tidak terlalu tampak.
“Namun pada kitab parukunan yang ditulis abad di 19, ada parukunan Abdul Rasyid, disitu jelas pengaruh Muhammad Arsyad Al-Banjari anti kolonialismenya, “ katanya.
Menurutnya, Abdul Rasyid mengatakan dalam kitab parukunan bahwa haram memakai tali leher (dasi) dan cipiu (topi orang eropa).
“ Kenapa haram karena itu meniru kaum penjajah, jadi begitu kerasnya mereka terhadap kolonialisme,” katanya.
BACA JUGA:SMB IV Harap Nama Palembang Darussalam Bisa Dikembalikan
Selain itu menurut Mujiburrahman, baik Abdul Somad Al-Palimbani dan Muhammad Arsyad Al-Banjari belajar agama di Haramain, Makkah, dengan guru yang sama.
“Keduanya sahabat baik selama di Haramain Makkah Madinah, satu perguruan,” katanya.
Peran keduanya seperti dibagi, Abdus Somad bidang tawasuf, sedangkan Muhamamd Arsyad bidang fikih, syariah.
“Ini merupakan peran yang cantic, sehingga tidak berbenturan satu sama lain,” katanya.
BACA JUGA:SMB IV Minta KPPKN Solid dan Bersatu
Oleh sebab itulah, peran kedua tokoh yang hidup dalam kurun abad 19 dan awal abad 20, harus ditelusuri dan dipublikasikan.
Dengan begitu, masyarakat bisa tetap mengenal dan mempelajari sejarah dari kedua tokoh ini.
“Di sini kita saling bertukar pikiran, mendukung agar dakwahnya efektif,’’ ungkapnya.
Dia berharap, persaudaraan seperti ini bisa dilanjutkan oleh generasi sekarang.
BACA JUGA:Pertama Kalinya Pemkab Lahat Undang SMB IV, Hadiri Peringatan HUT ke 153
Sementara itu, Ketua Prodi S3 Peradaban Islam, Pascasarjana UIN Raden Fatah, Dr Muhammad Noupal, M.Ag mengatakan, latarabelakang seminar ini karena adanya kesamaan budaya tanah Kelayu yang didukung keinginan untuk mengajarkan dan menyebarkan faham Ahlu Sunnah, termasuk di dalamnya penguatan tasawuf dan tarekat.