Oleh Dudy Oskandar
(Jurnalis dan Peminat Sejarah Sumatera Selatan)
PARTAI Majelis Syuro Muslimin Indonesia atau Masyumi pernah menjadi wadah bagi tokoh dan organisasi Islam setelah kemerdekaan.
Dibentuk pada 7 November 1945, Masyumi pernah menjadi kisah manis ketika organisasi Islam bersatu dalam satu wadah.
Masyumi memang didirikan sebagai reaksi atas kondisi umat Islam yang tidak terlalu menggembirakan setelah proklamasi.
Hal ini bisa dilihat dari kurang terwakilkannya tokoh Islam dalam Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).
Masyumi sebenarnya sudah lahir pada zaman Jepang.
BACA JUGA: Surat-surat Herman Neubronner van der Tuuk di Lampung, 1868-1869 (Selesai)
Saat itu Jepang melihat Masyumi bisa membantu mereka untuk mengendalikan umat Islam di Indonesia.
Pada masa pendudukan Jepang, Masyumi saat itu bukanlah partai politik, tetapi hanya sebuah organisasi.
Terdiri dari empat organisasi Islam di Indonesia, seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persatuan Umat Islam, dan Persatuan Umat Islam Indonesia.
Setelah Indonesia merdeka, muncul serangkaian diskusi agar umat Islam memiliki kelompok partai politik.
BACA JUGA:Surat-surat Herman Neubronner van der Tuuk di Lampung, 1868-1869 (Bagian Ketigabelas)
Di mana partai ini akan menjadi wadah penyaluran aspirasi bagi semua kelompok Islam.
Dicatat saat itu terjadi pembicaraan informal pada bulan September 1945 di Jakarta, seperti pembicaraan antara K.H. Wahid Hasyim, Abdul Kahar Muzakkir dan Moh. Roem.
Hasil pembicaraan informal itu kemudian disambut oleh tokoh Islam lain, kemudian mengkristal untuk membentuk partai politik Islam.
Pada Oktober 1945, Muhammad Natsir ditunjuk menjadi kepala komite untuk merealisasikan hal tersebut.