LAHAT, PALPRES.COM – Tim Musuem Negeri Sumatera Selatan (Sumsel) seolah tidak pernah lelah dalam menggali cerita rakyat dan menelusuri peninggalan bukti sejarah yang tersimpan di masyarakat. Kali ini, tim yang dipimpin Kepala Museum Negeri Sumsel, H Chandra Amprayadi SH, menelusuri napak tilas puyang Serunting Sakti di Desa Karang Cahaya dan Pagardin, Kecamatan Kikim Selatan, Kabupaten Lahat.
Dalam penelusuran ini, tim melihat langsung Rumah Lunjuk Bertiang Satu. Rumah dengan tiang tinggi sekitar tiga meter dan rumah berbahan kayu menyimpan benda pusaka berupa keris peninggalan puyang Serunting Sakti atau yang lebih dikenal Si Pahit Lidah.
Di sana, H Chandra bersama Kasi Museum Negeri Sumsel Adi Citra Sandy, Budayawan Sumsel Beni Mulyadi dan Sejarawan Sumsel Agus Sari Yadin bertemu dengan penerus Rumah Lunjuk, Akat Yakin. Kesempatan ini dimanfaatkan H Chandra untuk menggali sejarah keberadaan rumah yang tidak lazim pada umumnya.
“Kegiatan ini sebagai upaya kita dalam melestarikan budaya Sumatera Selatan. Cerita yang kini masih tersimpan di tengah masyarakat harus terus dipertahankan dan dilestarikan agar anak cucu kita bisa mengetahuinya,” kata H Chandra.
BACA JUGA:Sumsel Resmi Miliki Motif Batik Hasil Eksplorasi Peninggalan Sejarah
Menurut H Chandra, rumah bertiang satu ini sudah berusia ratusan tahun dan diyakini memiliki hubungan erat dengan cerita Puyang Serunting Sakti. “Oleh sebab itulah, kita mencoba menggali informasi cerita ini langsung dari penerus adat di sini,” ujar dia.
Sementara itu, Penerus Rumah Lunjuk, Akat Yakin bercerita, Puyang Serunting Sakti semasa hidupnya berpindah-pindah tempat mulai dari Desa Ulak Lebar kemudian pindah ke Muara Dandu dan terakhir Desa Pagardin.
“Di Rumah Lunjuk ini menjadi salah satu peninggalan sejarahnya dan di sini banyak menyimpan benda pusaka seperti keris Tumbak Ulas, Tata Apung, Bontang Ujung dan Buluh Kemarau,” terang anak dari Ketua Adat, Sahidin.
Konon, Rumah Lunjuk ini menjadi penunjuk arah bagi anak cucu puyang dalam menemukan tempat bermukim. Maksudnya, jika ada anak cucu Puyang Serunting Sakti tersesat dalam perjalanan akan mudah ditemukan.
BACA JUGA:Pameran Temporer se-Sumatera Selatan Resmi Dibuka
“Dulu rumah ini ada tangganya dan lebih tinggi dari sekarang sehingga dinamakan rumah tinggi. Saat dikelola oleh mamang Hamdan dipotong namun satu atau dua minggu kemudian meninggal dunia, perasaan beliau ditinggang (ditimpa, Red) kayu,” jelasnya.
Di dalam cerita, lanjut Akat Yakin, Puyang Serunting Sakti dan Puyang Penjalang berkeinginan menyatukan Batang Hari Sembilan. Namun saat perjalanan di perbatasan Palembang dan Lampung, Serunting Sakti meninggal dunia dan dipulangkan ke Pelang Kenidai.
“Puyang kami ini masih saudara dengan puyang Tanjung Sakti, Lintang, Gumay dan Pagaralam, sehingga bisa dikatakan kami satu nenek moyang,” ucapnya.
Dalam kesempatan yang sama, Budayawan Sumsel Beni Mulyadi mengaku perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terkait keberadaan Rumah Lunjuk Bertian Satu ini. Hal ini dikarenakan berkaitan dengan perjuangan tokoh yang menjadi cerita rakyat.
BACA JUGA:Telisik Jejak Ritual Agama Masa Prasejarah di Sumatera Selatan
“Menurut saya rumah ini bernilai sejarah karena tiangnya Cuma satu tapi fungsinya untuk menyimpan pusat. Oleh sebab itulah perlu digali lagi kesejarahannya karena kaitannya dengan daerah di sekitarnya,” kata dia.
Disana Tim Museum Negeri Sumsel menemukan unsur motif dari Rumah Lunjuk dan kini motif tersebut menjadi motif khas Kabupaten Lahat.
Rumah bertiang satu ini merujuk kepada makna religius tentang ajaran tauhid yakni Allah SWT. Ketinggian dengan angka sembilan juga merujuk kepada nilai religious keislaman.
Serta merujuk kepada makna kebijaksanaan dan kekokohan karena tiang tersebut berbentuk segi sembilan berfungsi sebagai penyangga yang bersifat kokoh. Secara bijaksana, tiang ini menjadi penopang sendiri bagi bangunan di atasnya.
BACA JUGA:Pemasangan Lift Ampera, Pemerhati Sejarah dan Stakeholder Harus Duduk Bersama
Kemudian pada motif isian terdapat buruk gagak hitam. Masyarakat Indonesia, termasuk Sumatera Selatan, melabelkan gagak sebagai burung mistis yang identik dengan mitos “kematian”.
Warna gagak yang identik dengan sesuatu yang gelap, hitam, pun dianggap sebagai wakil dari peristiwa kesedihan. Karena kesedihan dan duka, Seseorang akan menjadi murung jika kedatangan burung gagak hitam.