Ia mengatakan bahwa LDII sebagai organisasi keagamaan berbasis komunitas, terus aktif menggelar aksi peduli lingkungan.
“LDII perlu mempublikasikan aksi tersebut kepada masyarakat luas. Ini bukan sekadar propaganda, tetapi kampanye peduli lingkungan. Bagikan cara LDII merawat kelestarian alam agar dapat menjangkau skala yang lebih luas,” pesannya.
Chu mengajak warga LDII untuk menggelorakan aksi peduli lingkungan dengan penerapan green lifestyle pada kehidupan sehari-hari.
Seperti menghemat pemakaian air, bijak penggunaan lampu dan listrik, menerapkan konsep 3R (reduce, reuse, recycle), menggunakan kendaraan bebas polusi, dan lain-lain.
“Kita perlu tindakan yang mendesak untuk menyusun strategi pencegahan dampak perubahan iklim dan segera melakukan aksi peduli lingkungan,” katanya.
Menurutnya, penanganan masalah lingkungan membutuhkan aksi kolektif global yang dilakukan secara sadar, sukarela, berjejaring, dan berkelanjutan.
“Yang paling penting, kita perlu bertindak dengan segera. Ini bukan sesuatu yang bisa kita main-mainkan,” tegasnya.
Ia menyebutkan lima hal yang perlu ditanamkan untuk mendorong kesadaran masyarakat dalam menjaga kelestarian bumi.
BACA JUGA:4 Kampus Favorit di Indonesia Buka Jalur Nilai UTBK, Cek Jadwal dan Biaya Pendaftaran
“Yaitu bagaimana kita melihat bumi, bagaimana kita menggerakkan aksi peduli kelestarian bumi, bagaimana kita peduli terhadap tempat tinggal kita di bumi, bagaimana kita mengelola bumi, dan bagaimana kita peduli terhadap kesehatan bumi,” ungkapnya.
Sementara itu Ketua Bidang Diseminasi Informasi Iklim dan Kualitas Udara, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Indonesia, Ary Tirto Djatmiko mengatakan, penanganan iklim yang berubah, membutuhkan minimal 10 tahun untuk prakiraan sedangkan bencana bisa terjadi mendadak.
“Gempa bumi tektonik dan vulkanik tidak bisa diprakirakan, namun bukan berarti tanda-tandanya tidak diketahui tapi bisa melalui metode pendekatan medikasi, adaptasi, advokasi,” ucap Ary.
Kemajuan teknologi bukan berarti meninggalkan kearifan lokal peninggalan nenek moyang, atau di masyarakat Jawa disebut pronoto mongso atau penentuan musim.
“Generasi milenial saat ini mungkin belum memahami tanda-tanda alam, sehingga diperlukan sharing knowledge dari senior ke juniornya berupa sosialisasi maupun training,” ujarnya.