“Sungguh, Demi Allah, jika kamu memberi tahu orang lain lagi tentang masa lalu anakmu, aku pasti akan menjadikanmu sebagai ‘pelajaran’ bagi orang-orang yang ada di daerah lain!” kata Umar dengan penuh ketegasannya.
Ucapan Khalifah Umar pun ditutup dengan kalimat yang tidak dapat dibantah, “Nikahkanlah puterimu seperti halnya pernikahan perempuan yang menjaga iffah atau harga dirinya!”
Kisah yang diriwayatkan oleh Ibnu Abdul Hadi melalui kitabnya ini memberikan pelajaran buat kita bahwa apabila seseorang telah bertaubat, maka tutuplah masa lalunya.
Hal ini juga dapat menjadi bukti bahwa pernikahan adalah urusan yang agung sehingga Islam mengaturnya dengan penuh. Sebab, dari pernikahan tersebutlah perbaikan generasi, pewarisan nilai-nilai baik keluarga, dan terutama kebiasaan Islami yang dilakukan.
BACA JUGA:10 Keunggulan Kampus UI yang Kini Peringkat 237 Dunia Versi QS WUR 2024
Tentu saja, kisah ini kembali memberikan penegasan bahwa taubatan nasuha dapat menghapuskan masa lalu buruk seseorang.
Begitu pula dengan diri kita yang mengetahui masa lalu buruk seseorang maka penting untuk merahasiakannya.
Pernikahan yang mengurai satu per satu kisah masa lalu pasangan masiing-masing mungkin saja akan menjadi suatu proses pendewasaan.
Tetapi, sebaiknya jangan mengungkit lagi kisah buruk dirimu sendiri di masa lalu, karena pernikahan adalah kisah yang sedang kamu jalani di masa sekarang.
Namun, perlu diingat bahwa, dari kisah ini tidak berarti mengesampingkan perihal kecocokan, lalu memaksa orang agar menikahi seseorang yang tidak disukainya karena masa lalu.
Menikah adalah tentang penerimaan kedua belah pihak dalam hal apapun, termasuk masa lalu. Tetapi menikah juga harus memahami kecocokan.
Khalifah Umar juga telah menegaskan kepada wali atau perantara agar jangan mengumbar aib seseorang yang dibawanya.
Karena, siapa yang tahu bahwa orang itu telah bertaubatan nasuha; taubat yang benar-benar membersihkan seluruh dosa.
BACA JUGA:5 Tempat Wisata di Sekitar Guci Tegal, Ada Pemandian Air Panas Hingga Bukit Bintang
Kisah ini ditulis oleh Imam Ibnu Abdul Hadi yang hidup pada tahun 840-909 Hijriyah di dalam kitabnya yang berjudul Mahdh Ash-Shawwab fi Fadhail Amirul Mu’min Umar bin Khattab.