Kemudian berlanjut ke Asia kecil, anak benua Kaaram, Rusia Selatan, Bulgaria, Polandia, Istirkhan, Konstantinopel, Sarayevo, Bukhara, Afghanistan, Delhi, India (tempat dia menjadi hakim di sana selama lima tahun), Maladewa, Cina, Ceylon, dan Bengali.
Ia juga ternyata pernah ke Indonesia.
Selanjutnya Ibnu Batutah pernah ke Irak, Iran dan kembali lagi ke Afrika, Mali, kemudian Fez, di mana ia menghabiskan tahun-tahun terakhir kehidupannya di sana di bawah kekuasaan Sultan Abu Inan.
Namun ternyata, Ibnu Bathuthah tidak meninggalkan karya sastra apa pun, bahkan tidak menulis satupun catatan perjalanannya secara teratur.
BACA JUGA:Hadirnya Pesaing BeAT, Bodi Lebih Kekar dan Berotot dengan Mesin 150cc, Motor Apa Ya?
Ia hanya menceritakan kisah perjalanannya kepada orang lain, berupa peristiwa-peristiwa tertentu, dan beberapa informasi yang sepotong-sepotong.
Adalah Sultan Abu Inan yang memiliki inisiatif penerbitan buku kisah perjalanan Ibnu Bathuthah.
Atas permintaan sultan tersebut, Ibnu Batutah mendiktekan cerita perjalanannya kepada juru tulis sultan, yakni Ibnu Jauzi yang merupakan teolog Andalusia.
Catatannya dipenuhi peristiwa yang mengagumkan dan menyentuh.
BACA JUGA:Nongkrong di Palembang dengan Vibes Bandung? Datang Aja ke Cafe Cantik Ini
Ceritanya diberi judul “Tuhfat al-Nazzar fi Ghara’ib al-Amsar wa al-Aja’in al-Asfar”.
Artinya: “Hadiah buat Para Pengamat yang Meneliti Keajaiban-Keajaiban Kota dan Kanehan-Keanehan Perjalanan”.
Judul tersebut dikenal umum bernama “Rihlah Ibnu Bathutah” atau “Rihla”.
Ibnu Jauzi kemudian menuangkannya ke sebuah tulisan, dan memperbaiki bahasa Ibnu Bathutah.
Akhirnya ia berhasil menyusun menjadi sebuah buku perjalanan yang lengkap dari segala aspek, dengan tetap mempertahankan urutan waktu perjalanan, dan menghubungkan dari satu kisah dengan kisah lain.