Sedangkan faktor situasional yang mempengaruhi terjadinya perilaku phubbing sangat beragam, seperti ketika seseorang sedang menunggu suatu kabar maupun berita penting dari orang lain tentu akan memicu seseorang untuk membuka atau memeriksa smartphone lebih intens.
Efek Jangka Panjang
Phubbing jika dilakukan sekali dua kali mungkin masih bisa ditolerir bagi pasangan atau teman, namun jika konsisten dilakukan berisiko merusak kualitas hubungan.
Efek jangka panjangnya adalah hal tersebut menjadi biasa dan dimaklumi, komunikasi pun dirasa tidak perlu dilakukan.
Hal terburuk adalah seseorang akan dijauhi dan tidak akan diikutsertakan lagi.
Menurut Julie Hart, pakar hubungan sosial dari The Hart Centre, Australia, ada tiga faktor hubungan sosial yang menjadi tumpul karena phubbing.
Pertama adalah akses informasi, di mana kemampuan mendengar dan membuka diri akan informasi dari lawan bicara.
Kedua adalah respon, yakni usaha untuk memahami apa yang disampaikan lawan bicara dan mengerti maksud yang disampaikan.
Ketiga adalah keterlibatan, yakni saat dua faktor sebelumnya diabaikan, seseorang tidak akan terlibat dari wacana yang dilontarkan dan hanya mengiyakan saja.
Lawan bicara pun akan tersinggung dan yang terburuk malas bicara lagi.
Dikutip dari Healthline, salah satu penelitian membuktikan lebih dari 17 persen orang melakukan phubbing kepada orang lain, setidaknya empat kali sehari.
Sementara itu, hampir 32 persen menjadi korban phubbing hingga dua sampai tiga kali sehari.
Perilaku ini begitu mengganggu sehingga kini banyak orang mulai mengkampanyekan anti phubbing.
Pasalnya, perilaku tidak sopan ini bukan hanya mengganggu hubungan sosial seseorang namun juga merusak kesehatan mentalnya.
Penelitian yang diterbitkan dalam Journal of Applied Social Psychology menunjukkan, orang yang menjadi korban phubbing akhirnya terjerumus dalam pola perilaku serupa.
Mereka berusaha mengisi kekosongan interaksi yang terjadi dengan menggunakan smartphone-nya, yang akhirnya menjadi perilaku phubbing pula.