Salah satu upaya untuk menjaga kesenian Kuntau tetap hidup adalah dengan tampil dalam berbagai acara seperti penyambutan tamu kehormatan, pernikahan, dan penyambutan wisatawan di Desa Sawah, Kecamatan Muara Pinang.
Pertunjukan Kuntau biasanya melibatkan tiga pemain musik dan dua pemain Kuntau.
Alat musik yang digunakan adalah gendang dan gong, sementara properti yang digunakan adalah Mandau dan Keris.
BACA JUGA:Masjid Tertua di Kota Palembang, Punya Atap Segi 8 yang Merupakan Simbol Budaya Melayu
BACA JUGA:Bukit Siguntang Palembang: Jejak Sejarah Kejayaan Kerajaan Sriwijaya di Masa Lampau
Menurut A. Pikri, awalan pertunjukan Kuntau melibatkan langkah-langkah khusus yang diikuti dengan pertarungan menggunakan senjata tajam seperti Keris dan Mandau.
Pertunjukan ini tidak hanya sekadar atraksi fisik, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai kehidupan yang mendalam, seperti rendah hati dan sikap saling menghormati.
Namun, meskipun usaha-usaha ini sangat berharga, perkembangan seni bela diri tradisional Kuntau tetap memprihatinkan.
Seni ini semakin terpinggirkan dan hanya diminati oleh kalangan tua.
BACA JUGA:Sejarah Keripik Sanjai di Nagari Sanjay, Warisan Kuliner yang Legendaris di Tanah Minang
BACA JUGA:Ekspedisi Eksotis, Banda Neira Keindahan Laut Biru dan Sejarah Indonesia yang Ada di Uang Rp1000
Oleh karena itu, Sanggar Puyang Putri mengajak generasi muda untuk ikut berperan dalam melestarikan warisan budaya yang berharga ini.
Seni bela diri Kuntau adalah bagian dari identitas dan warisan leluhur Suku Lintang yang tak boleh hilang ditelan zaman.
Selain menjadi bagian penting dalam Sanggar Puyang Putri, seni bela diri Kuntau juga telah diakui oleh Komite Olahraga Rekreasi Masyarakat Indonesia (KORMI) sebagai ciri khas olahraga rekreasi di Kabupaten Empat Lawang.
Dengan begitu, Kuntau menjadi semakin dikenal di berbagai acara dan tempat.