Warna hitam juga dilambangkan sebagai sebuah kesederhanaan, sehingga bisa menciptakan persamaan strata dalam kehidupan penduduk lokal.
Selain cara berpakaian, masyarakat setempat juga memilih untuk tidak terbawa arus globalisasi.
Oleh sebab itu, sebagai kampung adat, mereka menolak adanya listrik dan penggunaan alat-alat digital.
Warga lebih memilih hidup dalam kesederhanaan.
BACA JUGA:Kampung Unik di Banjarnegara, Lokasinya Sangat Ekstrem, Warganya Cuma 7 Kepala Keluarga
Selain itu, kondisi jalan di dalam kampung ini masih belum teraspal, melainkan tanah bebatuan yang didominasi jalan setapak.
Hal inilah yang membuat kendaraan sulit memasuki perkampungan tersebut.
Kondisi ini tentu mengingatkan kita pada kehidupan masyarakat Indonesia di tahun 1970-an.
Meski lokasinya terpencil, masyarakat yang hidup di desa seluas 331 hektar ini hidup bahagia dengan segala keterbatasan.
Berdasarkan kabar yang beredar, penduduk yang didominasi suku Kajang ini masih memegang teguh kepercayaan animisme.
Menurut mereka, benda dan makhluk hidup pasti memiliki roh yang harus dihormati.
Karena lokasinya yang berada di sebuah kawasan hutan dan cukup terpencil, kampung ini menjadi habitat dari berbagai macam flora dan fauna yang langka.
Dengan berbagai keunikannya itulah, kampung ini dijadikan sebagai salah satu kampung wisata.
Dikutip dari laman Jadesta Kemenparekraf, kampung ini dikenal sebagai Desa Wisata Adat Ammatoa Kajang.
Secara administratif, lokasinya terletak di Desa Tanah Towa, Kecamatan Kajang, sekitar 40 kilometer Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan.
Seperti yang disebutkan sebelumnya, warga setempat memiliki kebiasaan memakai pakaian berwarna hitam dan tidak menggunakan alas kaki.