Kecepatan, mobilitas, dan daya ledak yang besar menjadikan Katyusha sebagai ancaman yang serius bagi pasukan lawan.
Meskipun Katyusha sangat efektif dalam menghancurkan posisi musuh, kendaraan, dan pasukan, namun peluncur roket ini juga memiliki kekurangan.
Akurasi tembakan Katyusha cenderung rendah.
Roket-roket ini tidak memiliki sistem panduan yang presisi seperti yang dimiliki oleh rudal modern.
BACA JUGA:Mengenang Runtuhnya Tembok Berlin, Pemisah Kekuatan Amerika dan Uni Soviet
Selain itu, setelah peluncuran, kendaraan yang membawa peluncur Katyusha menjadi rentan terhadap serangan balasan musuh, karena mereka akan merayap atau kembali ke posisi awal.
Meskipun telah berusia lebih dari 70 tahun, Katyusha tetap menjadi simbol kekuatan dan ketangguhan Soviet selama Perang Dunia II.
Pengaruhnya dalam sejarah perang membuktikan efektivitasnya sebagai senjata serangan massal dan relatif murah untuk digunakan.
Dalam konteks sejarah, peluncur roket Katyusha menjadi simbol yang kuat selama Perang Dunia II dan dikenal sebagai "Organ Bach" oleh pasukan Jerman karena suara yang dihasilkan oleh peluncuran roket yang serupa dengan musik orgen.
Nama "Katyusha" sendiri berasal dari judul lagu Rusia yang populer saat itu yang menceritakan seorang wanita yang merindukan kekasihnya di medan perang.
Katyusha digunakan dalam berbagai pertempuran penting selama perang, seperti Pertempuran Stalingrad, Pertempuran Kursk, dan Penyerbuan Berlin.
Serangan-serangan menggunakan Katyusha sangat efektif dalam mendukung serangan infanteri dan merusak pertahanan musuh.
Selain itu, Katyusha juga digunakan dalam operasi gerilya dan sabotase di belakang garis musuh.
Setelah Perang Dunia II, pengembangan dan produksi Katyusha terus dilanjutkan oleh Uni Soviet dan negara-negara Blok Timur.
Peluncur roket ini juga diekspor ke banyak negara di dunia, termasuk negara-negara yang menjadi sekutu Soviet dalam Perang Dingin.
Sampai sekarang, Katyusha tetap menjadi simbol sejarah dan kebanggaan bagi Rusia.