“Kami merasakan adanya konflik antara manusia dan gajah ini.
BACA JUGA:Terapkan Budaya Keselamatan di Lingkungan Kerja, PHE Grup Raih Penghargaan WISCA – WPSCA
BACA JUGA:Puskass Pelajari Akar Konflik antara Gajah dan Manusia di OKI, Ini Hasilnya
Yang utama adalah habitat gajah diusik oleh manusia itu sendiri.
Gajah seperti diketahui memiliki jelajah edar yang bersifat siklus.
Berdasarkan pendapat masyarakat tersebut wilayah edar gajah tidak sengaja telah diganggu sehingga gajah masuk dan terkadang juga mengamuk di permukiman warga,” terangnya.
Namun, ada hal yang menarik dari penuturan warga.
BACA JUGA:Komitmen Zero Emisi, PHE Dalami Potensi Eksplorasi Geologic Hydrogen di Indonesia
BACA JUGA:Ini Agenda Shin Tae-yong Selanjutnya Usai Timnas Indonesia Gagal ke Olimpiade 2024
Diketahui jika dahulu masyarakat menghalau gajah cukup dengan kata-kata simbah ojo mlebuh niki rumah cucumu atau mbak tinggali makan untuk cucumu, maka gajah akan segera pergi.
“Tapi sekarang ini untuk menghalau gajah tersebut, harus dengan berbagai cara dan berganti strategi.
Seperti mengusir harus pakai tetabuan kaleng kemudian bulan berikutnya perlu menggunakan suara petasan/percon demikian seterusnya,” terang Ali Goik.
Sementara itu, anggota tim Puskas Sumsel lainnya Vebri Al-Lintani juga menjelaskan berdasarkan informasi yang didapat dari masyarakat, pada masa lalu ada harmonisasi antara kehidupan gajah dan manusia di provinsi ini.
BACA JUGA:PPDB Berjalan Serentak, Disdik Sumsel Pastikan Tak Ada Jual Beli Bangku
“Gajah itu hewan yang cerdas, dan akan merasa terganggu kalau diusik. Tokoh Si Dasir dalam tradisi lisan Sumsel, contohnya. Si Dasir mati karena mengusik gajah. Selain itu, dalam sejarah Raja Sriwijaya, Shih-Ling-Chia dikatakan menaiki gajah jika melakukan perjalanan jauh,” tutur Vebri.