Palembang Dalam Decentralisatie -Wet 1903 (Bagian Pertama)
Para pimpinan Pasirah tempo dulu. --Collectie Tropenmuseum
Oleh Dudy Oskandar
(Jurnalis dan Peminat Sejarah Sumatera Selatan)
PALEMBANG sudah mengenal aturan otonomi daerah yang diterapkan hingga saat ini.
Otonomi daerah adalah kewenangan untuk mengatur sendiri kepentingan masyarakat atau kepentingan, termasuk dengan membuat aturan guna mengurus daerahnya sendiri.
Perjalanan sistem otonomi daerah tidak terjadi begitu saja, namun sudah berjalan dalam waktu yang sangat lama.
Melansir artikel Menelisik Sejarah Otonomi Daerah pada Media BPP Kemendagri (2007) sejarah otonomi daerah sudah berlangsung sejak era kolonial hingga pendudukan Jepang.
Syaukani dkk (2002) dalam buku Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan, menjelaskan bahwa peraturan dasar ketatanegaraan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda terkait otonomi daerah adalah Reglement op het Beleid der Regering van Nederlandsch Indie (Staatsblad 1855 No 2) atau Peraturan tentang Administrasi Negara Hindia Belanda (Buku UU 1855 No 2).
BACA JUGA: Surat-surat Herman Neubronner van der Tuuk di Lampung, 1868-1869 (Selesai)
Aturan itu menyebut bahwa penyelenggaraan kolonial tidak mengenal sistem desentralisasi tetapi sentralisasi.
Kemudian pada 1903, pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan Decentralisatie Wet (Staatsblad 1903 No 329 yang memberi peluang dibentuknya satuan pemerintahan yang mempunyai keuangan sendiri.
Penyelenggaraan pemerintahan diserahkan pada sebuah “Raad” atau dewan di masing-masing daerah yang kemudian diperkuat dengan Decentralisatie Besluit (keputusan desentralisasi) (S 1905 No 137) dan Locale Raad Ordonantie (S 1905 No 181) yang menjadi dasar Locale Ressort dan Locale Raad.
Sebenarnya sistem yang dibuat merupakan akal-akalan karena pada kenyataannya pemerintah daerah hampir tidak mempunyai kewenangan.
BACA JUGA:Surat-surat Herman Neubronner van der Tuuk di Lampung, 1868-1869 (Bagian Ketigabelas)
Bahkan hanya dewan di tingkat gemenente (masyarakat) yang dipilih, sementara dewan daerah mendapatkan pengawasan sepenuhnya dari Gouverneur-Generaal Hindia Belanda yang berkedudukan di Batavia.
Walau begitu, sistem ini menjadi begitu menonjol hingga diwariskan dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia dari masa ke masa.
Aturan tersebut, ternyata tidak membawa pembaharuan yang positif terhadap rakyat Indonesia pada masa itu.
Dengan Decentralisatie Wet 1903 Pemerintah Hindia Belanda juga membuka kemungkinan –kemungkinan pembentukan daerah -daerah otonom di Indonesia di luar daerah-daerah otonom yang berdasarkan hukum adat yang ada.
Kemungkinan ini dicantumkan dalam Regering sreglement pasal 68 a , b dan c kemudian menjadi pasal-pasal 123, 124 dan 125 IS .
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: palpres.com