Foto ini diambil saat Ekspedisi Sumatera Tengah tahun 1877-1879. Terlihat rumah rakit di sepanjang Sungai Batang Hari, Jambi. (Sumber foto: Collectie Tropenmuseum )
Oleh Dudy Oskandar
(Jurnalis dan Peminat Sejarah Sumatera Selatan)
“JUMLAH korban yang meninggal dunia akibat wabah penyakit kolera di Jambi sudah mencapai 2.200 orang lebih, Jumlah tersebut kira-kira 4,5 % dari jumlah keseluruhan penderita kolera di Jambi. Daerah hulu adalah daerah yang paling parah akibat serangan wabah penyakit ini”. (Pembrita Betawi, 20 September 1909) Wabah kolera yang menimpa masyarakat Keresidenan Jambi tahun 1909 pernah menjadi momok yang menakutkan. Terdapat dua tahun puncak terjadinya epidemi kolera di Jambi yang menyebabkan banyaknya korban meninggal yaitu pada tahun 1910 dan pada tahun 1911. Daerah yang paling parah terjangkit kolera di Keresidenan Jambi pada masa itu adalah galegan di sungai besar Djambi (Batang Hari), Desa Merlung Kecamatan Tungkal Ulu dan Muara Tebo. Epidemi utama wabah kolera pada abad 20 pertama kali juga ditemukan di Jambi pada tahun 1909 ketika orang-orang muslim pribumi pulang menunaikan ibadah haji dari Mekkah Jambi pada masa kolonial juga merupakan kota yang dinamis, perkembangan ekonomi Jambi semakin tumbuh disertai pula pesatnya perkembangan aktifitas perdagangan. Hal ini mengakibatkan populasi penduduk Jambi semakin bertambah pesat karena perkembangan dan semakin majunya tingkat ekonomi dan prasarana kota. Konsekuensi dari pertambahan jumlah penduduk adalah munculnya rumah-rumah penduduk yang menyebabkan wilayah menjadi padat dan berdesak-desakkan. Perumahan yang semakin padat dapat berakibat pada kondisi kesehatan lingkungan, yaitu munculnya wilayah yang kumuh. Pola hidup masyarakat yang kurang menjaga kebersihan serta keterbatasan pengetahuan masyarakat akan penyakit kolera menyebabkan persebaran penyakit ini cepat berkembang. Kondisi geografi Jambi menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi keberadaan penyakit kolera di Jambi. Fasilitas air bersih sungai yang digunakan masyarakat di wilayah pinggiran sungai untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti mandi, memasak, dan minum kondisinya masih memprihatinkan. Pada masa itu masyarakat Jambi juga belum memiliki kakus atau kamar mandi, segala limbah kotoran yang dihasilkan manusia dibuang begitu saja ke sungai. Kondisi lingkungan tersebut menyebabkan menurunnya tingkat kesehatan masyarakat yang tinggal di permukiman dan pinggiran sungai. Hal inilah yang menyebabkan penduduk Jambi mudah terjangkit penyakit kolera. Jika sakit, masyarakat lebih mengandalkan pengobatan tradisional karena kurangnya pengetahuan tentang penyakit kolera. Menurut masyarakat bahwa penyakit kolera datang dan mewabah melalui udara, sehingga mereka mendatangkan dukun untuk menyembuhkan penyakit ini. *** Sumber : 1. https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbkepri/wabah-kolera-di-keresidenan-jambi-1909 2. Yuni Trijayanti. 2021. Wabah Penyakit Kolera Di Keresidenan Jambi 1909-1924. Skripsi, Program Studi Ilmu Sejarah, Jurusan Sejarah, Seni dan Arkeologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Jambi 3. https://sulsel.idntimes.com/life/education/ahmad-hidayat-alsair/rentetan-sejarah-wabah-pada-masa-kolonial-hindia-belanda 4. https://tirto.id/gara-gara-sanitasi-buruk-wabah-kolera-melanda-hindia-belnda- 5. https://jambikota.go.id/new/sejarah-kota-jambi/