Ditulis : Kms.H.Andi Syarifuddin
Kota Palembang pada jaman Bari, merupakan kawasan wilayah yang penuh dialiri oleh sungai. Setidaknya terdapat lebih dari 100 anak-anak sungai yang semuanya bermuara ke Sungai Musi sebagai induknya. Panjang Sungai Musi ini berkisar 450 Km dan lebar rata-rata 300 meter membelah ibu kota Palembang propinsi Sumatera Selatan.
Anak Sungai Musi yang terbesar dan mengalir sampai ke pelosok dusun dikenal dengan sebutan Batanghari Sembilan, yakni Sungai Ogan, Sungai Komering, Sungai Lematang, Sungai Lakitan, Sungai Kelingi, Sungai Semangus, Sungai Rawas, dan Sungai Batanghari Leko. Dengan keadaan alam yang banyak sungai serta kehidupannya, sehingga masyarakat wong Palembang membagi wilayah ini dengan sebutan istilah 'Darat' dan 'Laut'. Bahkan Palembang Darussalam dijuluki oleh orang-orang Eropa sebagai Venesia dari Timur.
Palembang menjadi kota di atas pulau-pulau kecil yang dipisahkan oleh anak-anak sungai. Oleh karenanya, selain di daratan, kehidupan sehari-hari masyarakat wong Palembang sangat tergantung kepada sungai, baik sebagai sarana transportasi maupun bidang ekonomi perniagaan. Penduduk memanfaatkan sungai untuk memenuhi kebutuhan hidup, baik untuk mandi, mencuci, mencari ikan dan lainnya.
Perahu merupakan salahsatu alat transportasi tradisional yang sangat diandalkan kala itu. Masyarakat Palembang mengenal beberapa jenis perahu ciri khas daerah ini, seperti perahu tambangan, perahu kajang, perahu jukung, perahu Bidar, perahu semawo, pencalang, tongkang, dan sebagainya.
BACA JUGA:Prijai Fonds Palembang
Selain tinggal ditepian sungai, warga masyarakat juga ada yang memilih tinggal di rumah rakit yakni rumah yang terapung di atas air. Disamping warga sekitar sungai dapat memanfaatkan airnya untuk keperluan kebutuhan sehari-hari, juga para pedagang kecil memanfaatkan untuk mencari nafkah berjualan keliling menjajakan barang dagangannya di atas perahu keluar masuk kampung menelusuri sungai-sungai.
Pedagang kecil di atas perahu inilah dalam istilah wong Palembang disebut "Perahu Batangan". Semacam pedagang tradisional melayari sungai keluar masuk kampung membawa barang perniagaannya dengan perahu (pasar terapung).
Yang dijual pula bermacam-macam barang dagangan keperluan sehari-hari, terutama buah-buahan dan aneka kue khas Palembang, seperti: duku, duren, ubi, manggis, embem, gomak, kelepon, apel, kumbu, kue lapis, dadar jiwo, dan barang keperluan lainnya.
Apalagi kalau musim kacap (banjir), hal ini paling tidak dapat menguntungkan para pedagang Perahu Batangan, sebab apabila air pasang besar, sungai meluap dan air naik menggenangi daratan, biasanya orang-orang kampung yang bermukim di tepi sungai tidak perlu repot-repot lagi untuk pergi belanja ke warung-warung atau mengancap ke pasar, cukuplah mereka belanja di perahu-perahu batangan.
BACA JUGA:Tradisi Perahu Bidar Lomba yang Dinantikan Masyarakat OKI
Keberadaan Perahu Batangan setidaknya cukup membantu dan berperan sekali dalam meringankan pengadaan kebutuhan warga berbelanja pada waktu itu.
Kebanyakan rumah-rumah penduduk letaknya membelakangi sungai. Bagian belakang atau Pawon (dapur), langsung menghadap ke sungai. Dengan demikian masyarakat Palembang dalam aktifitas pekerjaan rumah tangga lebih memanfaatkan sarana air sungai. Mereka cukup menunggu perahu batangan melintas di belakang rumah sebagaimana biasanya ditandai dengan mendengar suara teriakan para pedagang yang lantang menjajakan semua barang jualanannya.
Keindahan suasana perairan seperti ini dulu masih dapat kita saksikan. Demang R.M. Hasir, sempat menulis laporan Monografie dari Districtshoofd Palembang Ilir tahun 1917, tentang lukisan keadaan Kota Palembang Tempo Doeloe, adat istiadat serta sosial budaya, terutama menyangkut perihal Perahu Batangan ini.
Di sekitar kawasan pusat kota, seperti di Sungai Sekanak, Sungai Tengkuruk, Sungai Kebon Duku, Sungai Kemenduran, Sungai Kapuran dan lainnya, Perahu Batangan masih sering terlihat wara wiri.