Kebijakannya yang disebut glasnost (bebas berbicara) mendorong kemunculan kritik terhadap partai itu dan negara, sesuatu yang sebelumnya tidak terpikirkan.
Namun, kebijakan itu juga memicu keberanian kelompok nasionalis untuk mulai mendesak kemerdekaan di republik-republik Baltik, seperti Latvia, Lithuania, dan Estonia.
Ketika gelombang protes prodemokrasi melanda negara-negara komunis dalam blok Soviet di Eropa Timur pada tahun 1989, dia tidak menggunakan kekuatan untuk mengatasinya.
Sikapnya itu berbeda dengan para pemimpin Kremlin sebelumnya yang mengerahkan tank untuk menumpas pemberontakan di Hungaria pada tahun 1965 dan Cekoslovakia pada tahun 1968.
BACA JUGA:Ramzan Kadyrov: Ukraina Beres, Selanjutnya Polandia!
Namun, protes-protes tersebut mendorong keinginan 15 republik yang tergabung dalam Uni Soviet untuk menjalankan pemerintahan sendiri.
Uni Soviet lalu terpecah selama 2 tahun berikutnya setelah mengalami kekacauan dan Gorbachev berjuang sia-sia mencegah keruntuhan itu.
Banyak orang Rusia sulit memaafkan Gorbachev atas kekacauan yang muncul dari kebijakan reformasinya.
Menurunnya, standar hidup sejak itu, menurut mereka, adalah harga yang terlalu mahal untuk membeli demokrasi.
BACA JUGA:Amerika Persenjatai Ukraina, Rusia Perkuat Garda Depannya
Usai menjenguk Gorbachev di rumah sakit pada tanggal 30 Juni lalu, ekonomi liberal Ruslan Grinberg mengatakan kepada media militer Zvezda.
“Dia memberi kita semua kebebasan, tetapi kita tidak tahu apa yang kita lakukan dengan hal itu.” Tukasnya.
Artikel sudah tayang di fajar.co.id dengan judul: Rusia Berduka, Presiden Terakhir Uni Soviet Mikhail Gorbacev Meninggal Dunia