Sang ustaz mengatakan bahwa anak Soimah terjatuh akibat kelelahan usai mengikuti Perkemahan Kamis Jumat (Perkajum).
“Anak saya dipercaya sebagai Ketua Perkajum. Mungkin alasan itu bisa kami terima bila sesuai dengan kenyataan kondisi mayat anak saya. Tetapi karena banyak laporan dari wali santri lain bahwa kronologi tidak demikian. Kami pihak keluarga meminta agar mayat dibuka,” ucapnya.
Ia mengaku terkejut melihat kondisi mayat putranya. Amarah pun meledak, lantaran laporan yang disampaikan pihak ponpes berbeda dengan kenyataan.
“Karena tidak sesuai, kami akhirnya menghubungi pihak forensik dan rumah sakit yang sudah siap melakukan autopsi. Namun, setelah didesak, pihak dari Ponpes G yang mengantar jenazah akhirnya mengakui bahwa anak saya meninggal akibat terjadi kekerasan. Saya tidak bisa membendung rasa penyesalan. Saya telah menitipkan anak saya di sebuah pondok pesantren yang nota bene nomor satu di Indonesia,” sesalnya.
Setelah ada pengakuan dari Ponpes bahwa telah terjadi tindak kekerasan kepada anaknya, Soimah memutuskan untuk tidak meminta otopsi.
“Saya putuskan tidak jadi melakukan otopsi agar anak saya segera bisa dikubur. Mengingat sudah lebih dari satu hari perjalanan dan saya tidak rela tubuh anak saya diobrak-abrik,” ucapnya.
Keputusannya untuk tidak membawa kasus ini ke ranah hukum dilandasi banyak pertimbangan.
“Karena itu, kami membuat surat terbuka yang intinya ingin ketemu sama Kyai di Ponpes, pelaku dan keluarganya, untuk duduk satu meja. Kami ingin tahu kronologis hingga meninggalnya anak kami,” ujar Soimah.
Sayangnya surat terbuka yang dibuatnya tidak digubris oleh pihak Ponpes. Hingga Rabu, 31 Agustus 2022, belum ada kabar atau balasan dari surat terbuka tersebut.
“Padahal kami selaku keluarga korban. Saya tidak ingin perjuangan anak saya Albar Mahdi siswa Kelas 5 Ponpes G 1 Ponorogo sia-sia. Jangan lagi ada korban-korban kekerasan, bukan hanya di Ponpes G, tetapi di pondok lainnya hingga menyebabkan nyawa melayang. Tidak sebanding dengan harapan para orangtua dan wali santri untuk menitipkan anaknya di sebuah lembaga yang dapat mendidik ahlak para generasi berikutnya,” sebutnya.
Ia berharap kejadian ini mampu membuka mata masyarakat bahwa memperjuangkan kebenaran dibutuhkan keberanian.
“Saya masih berharap ini hanya mimpi, dan saya merasa anak saya belum pulang menimba ilmu,” kata Soimah.
Berdasarkan keterangan yang diperoleh, kondisi mayat Albar Mahdi saat itu sangat mengenaskan. Kepalanya pecah dan terus mengeluarkan darah. Pun begitu darah keluar dari telinga dan hidungnya, serta punggungnya retak.
Soimah mengaku saat ini ia belum melaporkan peristiwa ini ke kepolisian mengingat peristiwa terjadi di Ponorogo. “Belum, TKP nya di Ponorogo. Jadi harus ke sana,” sebutnya. (*)