Menurut Maxi, terjadi penurunan tren cakupan imunisasi OPV dan IPV di Aceh dalam 10 tahun terakhir.
Berdasarkan survei cepat yang dilakukan Kemenkes kepada 30 rumah tangga, sebanyak 30 anak dari 25 rumah tangga tidak mendapat vaksinasi IPV (inactive polio vaccine) untuk polio.
Cakupan imunisasi OPV (oral polio vaccine) pun masih rendah.
"Memang ini masa pandemi untuk luar Jawa cakupannya tidak mencapai target Bulan Imunisasi Anak Nasional (BIAN). Dua tahun ini IDL dan imunisasi tambahan itu banyak tidak capai target," ucap Maxi.
Pada tahun 2020, cakupan vaksinasi OPV mencapai 86,8 persen, kemudian menurun pada tahun 2021 menjadi 80,2 persen.
Maxi tidak memungkiri, banyak daerah dengan cakupan vaksinasi yang kurang dari 50 persen sejak tahun 2020.
"Sebelum pandemi lumayan ya, OPV 1 sampai (vaksin) OPV 4 ada 86,8 persen, sekali pun ada yang di bawah 50 persen di Kalimantan Sumatera, Aceh sejak tahun 2020 sudah rendah, Papua paling banyak, dan Kalimantan," tuturnya.
Selain itu, ia mengatakan, perilaku berisiko di masyarakat juga menjadi penyebab munculnya kasus polio.
Tim Kemenkes menemukan sejumlah penduduk yang masih memiliki kebiasaan buang air besar ke sungai.
Sungai menjadi sumber aktivitas termasuk tempat bermain anak.
"Jadi perilaku buang air sembarangan itu punya potensi jadi kemungkinan penularannya. Faktor risiko yang paling kami lihat ada di sini," kata Maxi.
Karenanya, pemerintah langsung merencanakan vaksinasi polio serentak yang akan diadakan 28 November mendatang.
Maxi mengatakan, virus polio mampu mengakibatkan kelumpuhan permanen karena menyerang sistem saraf sehingga kekuatan otot berkurang.
"Ini kalau lihat 30 provinsi dan 415 kabupaten/kota semua masuk kriteria high risk untuk cakupan (vaksinasi) polio yang rendah, jadi Indonesia ini high risk untuk terjadi KLB polio," kata Maxi.
Kemenkes bakal menggelar vaksinasi polio massal di Kabupaten Pidie, Aceh.
Itu dilakukan menyusul ditemukannya kasus polio atau lumpuh layuh (flaccid paralysis) pada seorang anak berusia 7 tahun.