PALEMBANG, PALPRES.COM - Nama Rustam Fachri Mendayun begitu familiar di kalangan insan pers Indonesia. Wartawan senior alumni Universitas Gadjah Mada ini menjadi saksi pembredelan perusahaan pers di masa orde baru Soeharto.
Pengalaman tersebut membuat pria kelahiran 27 Mei 1956 semakin tangguh dalam menghadapi permasalahan yang kini dihadapi wartawan.
Hingga akhirnya, Rustam Fachri Mendayun diamanahkan sebagai anggota Pokja Komisi Pengaduan Dewan Pers.
“Permasalahan yang kini dihadapi wartawan karena produk jurnalistiknya tidak cover both side, tidak berimbang dan berpotensi tidak akurat,” kata salah satu penguji Uji Kompetensi Wartawan (UKW) dari LPDS saat berbincang dalam UKW di Palembang, Jumat 9 Juni 2023.
Di era rezim Soeharto, permasalahan yang dihadapi wartawan antara lain adanya sistem pemerintahan yang otoriter. Hal itu dia rasakan saat menjadi wartawan di Majalah Tempo pada tahun 1987 hingga 1994.
“Saat itu (21 Juni 1994), saya putus dari Majalah Tempo karena dibredel pemerintah,” ujarnya.
Suasana pemerintah yang tidak mendukung atas kemerdekaan pers, Rustam akhirnya direkrut Jawa Pos dan menjadi koresponden di Los Angeles, Amerika pada tahun 1995.
Dan baru kembali pulang ke Indonesia saat adanya gejolak dari mahasiswa yang meminta reformasi hingga menjatuhkan Presiden Soeharto.
BACA JUGA:Dewan Pers di Era Ninik Berjanji Perjuangkan Kemerdekaan Pers
“Saat itu, Tempo kembali beroperasi dan saya kembali menjadi wartawan di sana. Waktu itu ketika reformasi pada tahun 1998,” jelasnya.
Hingga memasuki masa pensiun pada tahun 2018, Rustam tetap mengabdikan hidupnya dengan menjaga kemerdekaan pers. Hingga akhirnya menjadi analis pers dan bergabung di Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika Pers.
Dalam satu tahun, Dewan Pers menerima rata-rata 650 pengaduan dari masyarakat. Pengaduan itu didominasi karena berita tidak berimbang.
“Pengaduan itu terkait dengan pelanggaran Kode Etik Jurnalistik pasal 1 tentang Wartawan harus bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang dan tidak beretikad buruk. Serta pasal 3 mengenai Wartawan harus memberitakan secara berimbang dan tidak mencampurkan fakta dan opini. Asumsi sederhananya, wartawan belum sepenuhnya memahami bagaimna aturan main di dalam menjalankan profesinya secara profesional,” ujarnya.
BACA JUGA:Dewan Pers Apresiasi Pejabat Publik yang Mendukung Profesionalisme Pers