Karena kemiskinannya, Datu Suban dan istri hanya makan singkong setiap hari.
Pada saat Hari Raya Idul Fitri, Datu Suban kedatangan 13 muridnya, yaitu: Datu Murkat, Datu Taming Karsa, Datu Niang Thalib, Datu Karipis, Datu Ganun, Datu Argih, Datu Ungku, Datu Labai Duliman, Datu Harun, Datu Arsanaya, Datu Rangga, Datu Galuh Diang Bulan dan Datu Sanggul.
Ketika sedang menikmati hidangan yang disediakan tuan rumah, tiba-tiba datang seorang lelaki bertubuh sangat besar.
Serta merta mereka terkejut dan segera mengambil tombak dan parang untuk menghadang orang tersebut.
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.” kata orang besar, sambil mendekat.
“Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh,” jawab para Datu yang tengah berkumpul.
Lalu Datu Suban berkata kepada murid-muridnya bahwa orang yang memberi salam itu berniat baik dan tidak membahayakan mereka.
“Maaf, siapa saudara yang datang dan darimana asalmu serta apa maksud saudara?” tanya Datu Suban.
Si raksasa hanya menjawab dengan ucapan dzikir, La ilaha illallah.
Setiap Datu Suban bertanya selalu dijawab dengan kalimat tauhid La ilaha illallah, hingga 7 kali ditanya dan dijawab dengan 7 kali dzikir tauhid itu.
Setelah 7 kali dzikir tersebut, tiba-tiba raksasa itu ambruk dan tidak bergerak.
Lalu para Datu menghampiri dan memeriksanya, ternyata orang besar itu telah meninggal dunia, serempak mereka berujar “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’uun.”
Wafat dan Memakamkan Datu Nuraya
Melihat keadaan yang demikian, para Datu yang berjumlah 13 orang tadi bingung, bagaimana cara memandikan dan menguburkannya?
Apalagi saat itu musim kemarau panjang, biasanya tanah sangat keras, sedang lubang untuk penguburan harus lebar dan panjang sesuai dengan tubuhnya yang sangat besar.