PALEMBANG, PALPRES.COM - Dalam ekosistem lahan gambut di Sumatera Selatan (Sumsel) kini tinggal tersisa 1,2 juta hektare-1,4 juta hektare.
Yang dimana Jumlah itu sangat turun 700 ribu hektare-900 ribu hektare dibandingkan 2017 (SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan 130/2017) seluas 2,09 juta hektare.
"Jadi Sumsel merupakan salah satu provinsi yang memiliki lahan gambut terluas di Indonesia. Yang diaman sebelumnya ada 2,1 juta hektare, kini tinggal 1,2 juta-1,4 juta hektare," ujar Sekretaris Daerah Sumsel, Edward Candra
Lalu Dia juga menjelaskan, bahwa perlindungan ekosistem gambut sangat perlu dilakukan yang diaman mengingat tentang perannya sangat penting bagi lingkungan dalam menjaga perubahan iklim.
BACA JUGA:Lapas Sekayu Fasilitasi Warga Binaan untuk Pangkas Rambut
BACA JUGA:Sambangi Desa Pangkalan Sakti, Calon Bupati OKI Muchendi Siap Perjuangkan Keinginan Masyarakat
Jadi Sehingga, dokumen rencana perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut (RPPEG) 2024-2053 dibutuhkan untuk penataannya.
"Lalu Penyusunan dokumen RPPEG 2024-2053 telah selesai dilakukan, dokumen ini jadi acuan dalam pengelolaan, pemanfaatan, pengelolaan dan perlindungan gambut di Sumsel," ungkapnya.
Jadi Dari data RPPEG sampai tahun 2022 kerusakan ekosistem gambut di Sumsel seluas 390.247 hektare.
Lalu unrui Rinciannya rusak sangat berat seluas 46.381 hektare (2,2%) dan rusak berat 343.866 hektare (16,43%).
BACA JUGA:Teknologi AI Hadir di Air Fryer Mito Electronic, Pengalaman Memasak Jadi Lebih Praktis
BACA JUGA:SELAMAT! Universitas Islam OKI Lahirkan 102 Alumni Baru Program Strata 1
Ditambah Sementara itu menurut peta kerusakan ekosistem gambut skala 1:250.000 rusak ringan 58,7%, rusak sedang 35,9%.
Ditambah Kemudian teridentifikasi sekitar 46.381,5 hektare (2,6%) memilkki status rusak sangat berat dan 34.386,5 hektare (1,9%) rusak berat.
Lalu untuk Gambut yang rusak sangat berat terjadi pada daerah lahan terbuka bekas terbakar dan memiliki kanal. Paling banyak kerusakan lahan terbakar terjadi pada 2015 dan 2019 lalu di wilayah Banyuasin dan Ogan Komering Ilir (OKI). Faktor pemicu lain karena aktivitas manusia seperti pembukaan lahan untuk pertanian, peternakan dan lainnya.