Bunga Tanjung menjadi ikon kota, terkenal dengan wangi semerbak dan pohonnya yang tumbuh di sepanjang jalan.
Padi melambangkan kesatuan dan kemakmuran bagi masyarakat Lawang Kidul dan Tanjung Enim.
“Ketiga motif itu adalah identitas awal kami. Ke depan, kami masih bisa mengembangkan banyak motif lain sesuai kekayaan budaya Tanjung Enim,” jelas Syahdan.
Rezeki dari Selembar Kain
BACA JUGA:Dukungan PTBA Bawa Agus Sukses Kembangkan Peternakan Puyuh di Tanjung Enim
Kini, membatik telah menjadi sumber nafkah baru. Diakui Syahdan, dari hasil penjualan batik, dirinya mampu memperoleh penghasilan kotor Rp7–10 juta per bulan, dengan pendapatan bersih sekitar Rp4 juta.
“Alhamdulillah, 80 persen kebutuhan rumah tangga bisa terpenuhi dari batik, termasuk biaya sekolah anak-anak,” katanya.
Menariknya, motif yang diminati pembeli sering menyesuaikan dengan momen atau festival yang sedang berlangsung.
Saat ada festival durian, muncul permintaan batik dengan motif durian. Begitu pula dengan festival kopi, motif kopi pun menjadi primadona.
BACA JUGA:Dukungan PTBA Bawa Agus Sukses Kembangkan Peternakan Puyuh di Tanjung Enim
BACA JUGA:Songket Behembang Lingge, Warisan Desa Lingga yang Dibangkitkan Yenny Bersama PTBA
Harga Batik Kujur sendiri berkisar antara Rp250 ribu per lembar untuk bahan katun premis (2,5 meter), hingga Rp500 ribu per lembar untuk katun sutra atau silk.
Tantangan Produksi dan Harapan ke Depan
Meski permintaan terus meningkat, para pengrajin masih menghadapi keterbatasan modal dan stok. Idealnya, setiap kelompok bisa menyediakan 100–200 lembar batik.
Namun saat ini, sebagian besar baru mampu menghasilkan kurang dari 10 lembar per motif.
BACA JUGA:Songket Behembang Lingge, Warisan Desa Lingga yang Dibangkitkan Yenny Bersama PTBA
BACA JUGA:Program Bidiksiba PTBA: Jembatan Emas bagi Anak Daerah, Kisah Rio Fernando Jadi Bukti Nyata