Podcast kini menjadi bentuk baru dari jurnalisme alternatif — namun tanpa fondasi etik yang memadai.
Banyak orang menganggap podcast sama dengan media berita, padahal secara hukum dan profesi, keduanya berbeda jauh.
Jurnalisme adalah kerja kolektif dan terlembaga, dengan struktur redaksi dan sistem verifikasi.
Podcast adalah kerja individual atau komunitas kecil yang berbasis platform digital, dengan orientasi hiburan dan algoritma.
Ketiadaan pagar etik ini membawa dampak serius.
Banyak narasumber mengalami tekanan psikologis setelah tampil di podcast, terutama ketika potongan wawancara diunggah ulang di media sosial tanpa konteks.
Di sisi lain, podcaster sering berdalih bahwa mereka hanya memenuhi “permintaan netizen”.
Padahal, “netizen” bukan entitas hukum, melainkan kumpulan emosi massa yang mudah diprovokasi.
Charles Ess (2013) dalam kajian Digital Media Ethics menegaskan bahwa kebebasan berekspresi di era digital menuntut bentuk tanggung jawab baru berbasis kesadaran komunitas, bukan hanya regulasi negara.
Podcast sebagai medium publik membutuhkan kesadaran etik semacam ini — bukan untuk membatasi kreativitas, melainkan untuk melindungi martabat manusia dalam ruang komunikasi digital.
Karena itu, sudah saatnya kita memikirkan pembentukan Asosiasi Podcaster Indonesia sebagai wadah etik mandiri.
Asosiasi ini bisa menyusun pedoman dasar seperti prinsip verifikasi dua pihak, larangan eksploitasi narasumber, dan mekanisme klarifikasi jika terjadi kesalahan tayang.
Tidak perlu berada di bawah negara, tapi lahir dari kesadaran komunitas profesional, sebagaimana asosiasi fotografer, penyiar, atau jurnalis warga.
Dengan begitu, podcast tidak lagi menjadi ruang bebas nilai, melainkan ruang publik yang bertanggung jawab.
Menjaga Akal Sehat di Era Kebebasan
Kebebasan berekspresi adalah fondasi demokrasi.
Namun kebebasan tanpa tanggung jawab akan melahirkan kekacauan moral.