Podcast: Ruang Publik Tanpa Pagar Etika

Jumat 10-10-2025,14:12 WIB
Reporter : Sulis Utomo
Editor : Sulis Utomo

Proses penyelesaian yang berlarut-larut justru menarik perhatian beberapa podcaster ternama, yang kemudian memberikan ruang bagi kedua pihak untuk “menyampaikan apa yang perlu disampaikan”.

Jadilah dua tayangan beruntun: pihak pertama hadir dan tayang lebih dulu, disusul pihak kedua di episode berikutnya. 

Akibatnya, posisi narasi menjadi timpang. 

Alih-alih menjadi ruang klarifikasi yang setara, podcast itu berubah menjadi gelanggang pembelaan terbuka. 

Bahkan, keputusan untuk menayangkan episode kedua ditentukan lewat polling “netizen” — istilah yang sering digunakan, tetapi tak pernah jelas siapa sebenarnya yang dimaksud. 

Publik digital berubah menjadi hakim moral yang menilai siapa benar, siapa salah, hanya dari potongan video berdurasi menit.

Jurnalisme ke Arena Opini

Fenomena semacam ini mengindikasikan pergeseran besar dalam budaya komunikasi publik yang menghasilkan wacana publik. 

Dulu, wacana publik dikendalikan oleh media institusional yang tunduk pada kode etik jurnalistik, seperti verifikasi dua pihak, perlindungan privasi, dan hak jawab. 

Kini, melalui platform podcast, siapapun dapat menjadi pewawancara, penyunting, sekaligus penyiar. 

Peran jurnalis bergeser menjadi figur personal yang beroperasi di ruang produksi dengan standar pribadi masing-masing tanpa pagar etika yang jelas. 

Dalam jurnalisme, kebebasan selalu berpasangan dengan tanggung jawab. 

Setiap tuduhan harus diverifikasi, setiap wawancara harus seimbang, dan setiap narasumber berhak atas perlakuan yang adil.

Tanpa pagar-pagar ini, kebebasan berekspresi mudah tergelincir menjadi kebebasan menghakimi. Di sinilah podcast sering berubah dari ruang berbagi menjadi ruang adu wacana, di mana rating dan algoritma menggantikan integritas.

Sementara itu, José van Dijk (2013) mengingatkan bahwa dalam budaya konektivitas digital, kekuasaan simbolik berpindah dari institusi media ke individu yang menguasai narasi dan algoritma. 

Akibatnya, kebenaran dan popularitas kerap berbaur: yang viral lebih dipercaya daripada yang faktual. 

Dalam konteks podcast, hal ini membuat relasi antara podcaster, narasumber, dan publik menjadi timpang — karena yang paling berkuasa adalah siapa yang mengendalikan “frame” percakapan.

Podcast sebagai Profesi

Kategori :