Proyek Jembatan Ampera Banyak Gusur Bangunan Peninggalan Belanda
PALEMBANG, PALPRES.COM – Jempatan Ampera sudah dikenal luas sebagai landmark Kota Palembang.
Jembatan dengan panjang 1.177 m dan lebar 22 m membentang di atas Sungai Musi, menghubungkan Kota Palembang bagian Ilir dan Ulu.
Nama Jembatan Ampera belakangan ini kembali menjadi buah bibir, setelah adanya rencana Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan (Pemprov) Sumatra Selatan melalui Satuan Kerja (Satker) Pekerjaan Jalan (PJN 3) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), yang akan memasang tangga otomatis atau lift di Jembatan Ampera.
Terlepas dari rencana yang memantik pro dan kontra itu, tahukah anda jika Jembatan yang bagian tengahnya dulu bisa dinaik-turunkan jika ada kapal besar melintas dibawahnya, memiliki sejarah panjang dalam pembangunannya.
BACA JUGA:Rencana Lift Jembatan Ampera, Tim Ahli: Tak Ada Kajian Akademis!
Mengutip dari Wikipedia, pembangunan jembatan itu disetujui oleh Bung Karno, dan pada 14 Desember 1961 dilakukanlah penunjukan perusahaan pelaksana pembangunan, dengan penandatanganan kontrak dengan biaya sebesar USD 4.500.000 (kurs saat itu, USD 1 = Rp 200,00).
Saat pembangunannya, banyak sekali bangunan-bangunan peninggalan Belanda yang harus dibongkar.
Diantaranya pusat perbelanjaan terbesar Matahari atau Dezon, Kantor listrik (OGEM), dan Bank ESCOMPTO.
Sementara bangunan peninggalan Belanda lain berupa menara air atau watertoren yang kini difungsikan sebagai Kantor Wali Kota Palembang, tidak dibongkar.
BACA JUGA:Pemasangan Lift Jembatan Ampera Merusak Landmark Kota Palembang
Dipaparkan dalam Wikipedia, pembangunan jembatan ini dimulai pada bulan April 1962, setelah mendapat persetujuan dari Presiden Soekarno.
Biaya pembangunannya diambil dari dana pampasan perang Jepang.
Bukan hanya biaya, jembatan inipun menggunakan tenaga ahli dari negara tersebut.
Pada awalnya, jembatan yang diresmikan pada 1965 itu dinamai Jembatan Bung Karno.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: