Honda

‘Wong Kito Galo’ Wajib Tahu, Inilah Asal Usul Nama Kota Palembang

‘Wong Kito Galo’ Wajib Tahu, Inilah Asal Usul Nama Kota Palembang

Jembatan Ampera yang menjadi salah satu cagar budaya kota Palembang-Foto: Alhadi Farid-palpres.com

PALEMBANG, PALPRES.COM – Kota PALEMBANG merupakan kota terbesar kedua di Pulau Sumatera. 

Masuk kota berpenduduk lebih dari 1.250.000 jiwa, bersama DKI Jakarta, Surabaya, Semarang, Bandung, Medan, Palembang dan Makassar.

Selain itu, Kota Palembang juga merupakan kota tertua di Indonesia karena usianya sudah 1337 tahun.

Diketahui berdasarkan Prasasti Kedukan Bukit dari zaman Kerajaan Sriwijaya

BACA JUGA:Serasa di Bali, 8 Destinasi Wisata Pantai di Palembang Ini Wajib Banget Kamu Kunjungi

Jika mengacu pada prasasti itu, Palembang berdiri pada 16 Juni 682. 

Palembang terkenal dengan Jembatan Ampera yang membentang di atas Sungai Musi, serta makanan khasnya yaitu pempek.

Tapi tahukah kamu asal usul nama Kota Palembang?

Simak sampai habis ya.

BACA JUGA:Wajib Tau, Ini Asal Usul Orang Palembang Bermata Sipit dan Berkulit Putih

Pada saat itu, penguasa Kerajaan Sriwijaya mendirikan Wanua di daerah, yang sekarang dikenal sebagai Kota Palembang. 

Mengacu pada kenampakan alami maupun kultural di permukaan bumi (topografi), kota ini dikelilingi air, bahkan terendam air yang bersumber baik dari sungai maupun rawa, juga air hujan. 

Keterangan tersebut ada benarnya. 

Data statistik tahun 1990 mencatat di Kota Palembang masih terdapat 52,24 persen tanah yang tergenang air. 

BACA JUGA:Ya Cacam, 20 Bahasa Pelembang Ini Jadi Oncaknya Orang Palembang Dalam Sehari-Hari

Mungkin lantaran topografi itulah, nenek moyang orang-orang Kota Palembang menamakan kota ini sebagai Pa-lembang.

Dilansir dari Jambiindependent.co.id, nama Palembang dikenal sejak sebuah kronik Cina Chu-fan-chi, karya Con-ju-han (1255), menyebut Pa-lin-fong.

Selanjutnya kronik lain tulisan Wang Tu-huan yang berjudul Toa-I Chi lio (1349-1350) menyebutkan Po-lin-fong untuk  Palembang.

Kemudian, Ma Huan dalam catatan perjalanannya Ying-Ysi Shueng Lan tahun 1416 menuliskan tentang nama Po-lin-pang.

Selain dari sumber-sumber sejarah, nama Palembang konon menurut penduduk setempat, berasal dari bahasa Jawa “Limbang” yang mempunyai arti membersihkan logam atau benda-benda lain.

Adapun “Pa” adalah kata depan yang juga berasal dari bahasa Jawa jika mereka hendak menyebut suatu tempat.

Contohnya, bila seseorang menyebut “pa-ka-pu-ran”, artinya adalah tempat pembakaran kapur.

Sumber lokal lainnya menyatakan nama Palembang diambil dari pengertian tempat mencuci emas dan biji timah di sekitar Muara Ogan, Kertapati.

Karena sebagian mata pencaharian penduduk awal “melimbang”, lama kelamaan muncullah kata “ Palembang” sebagai nama tempat.

Sebetulnya ada juga yang menduga nama kota Palembang berasal dari kata “Lembeng”.

Maknanya adalah genangan air dan kemudian ditambah awalan “Pa” sebagai kata petunjuk tempat.

Sehingga nama Palembang berarti kota yang selalu tergenang air atau terletak di Lembeng.

Hal ini tentunya dikaitkan dengan kenyataan Palembang memang berada di daerah rawa yang dipengaruhi oleh pasang-surut air Sungai Musi.

Air menjadi sarana transportasi yang sangat vital, ekonomis, efisien dan punya daya jangkau, serta punya kecepatan yang tinggi.

Selain kondisi alam, letak strategis Kota Palembang juga berada dalam satu jaringan, yang mampu mengendalikan lalu lintas antara tiga kesatuan wilayah, yaitu Tanah tinggi Sumatera bagian Barat, Pegunungan Bukit Barisan, daerah kaki bukit atau piedmont, dan pertemuan anak-anak sungai sewaktu memasuki dataran rendah dan daerah pesisir timur laut.

Ketiga kesatuan wilayah ini sangat menentukan dalam pembentukan pola kebudayaan yang bersifat peradaban.

Faktor setempat yang berupa jaringan dan komoditi dengan frekuensi tinggi sudah terbentuk lebih dulu dan berhasil mendorong manusia setempat menciptakan pertumbuhan pola kebudayaan tinggi di Sumatera Selatan.

Faktor setempat inilah yang membuat Palembang menjadi ibu kota Kerajaan Sriwijaya, yang merupakan kekuatan politik dan ekonomi di zaman klasik pada wilayah Asia Tenggara.

Kejayaan Sriwijaya diambil oleh Kesultanan Palembang Darussalam pada zaman madya sebagai kesultanan yang disegani di kawasan Nusantara.

Sriwijaya seperti bentuk-bentuk pemerintahan di Asia Tenggara lainnya, yang pada saat itu bentuknya dikenal sebagai Port-polity.

Pengertian Port-polity secara sederhana bermula sebagai sebuah pusat redistribusi, yang secara perlahan-lahan mengambil alih sejumlah bentuk peningkatan kemajuan yang terkandung di dalam spektrum luas.

Pusat pertumbuhan dari sebuah Polity adalah entreport yang menghasilkan tambahan bagi kekayaan dan kontak-kontak kebudayaan.

Hasil-hasil ini diperoleh oleh para pemimpin setempat, (dalam istilah Sriwijaya sebutannya adalah datu), dengan hasil ini merupakan basis untuk penggunaan kekuatan ekonomi dan penguasaan politik di Asia Tenggara.

Ada tulisan menarik dari kronik Cina Chu-Fan-Chi yang ditulis oleh Chau Ju-Kua pada abad ke 14, menceritakan tentang Sriwijaya.

Pada saat itu, Sriwijaya terletak di Laut selatan, menguasai lalu lintas perdagangan asing di Selat. 

Pada zaman dahulu, pelabuhannya menggunakan rantai besi untuk menahan bajak-bajak laut yang bermaksud jahat.

Jika ada perahu-perahu asing datang, rantai itu diturunkan. 

Setelah keadaan aman kembali, rantai itu disingkirkan. 

Perahu-perahu yang lewat tanpa singgah di pelabuhan dikepung oleh perahu-perahu milik kerajaan dan diserang.

Semua awak-awak perahu tersebut berani mati. 

Itulah sebabnya maka negara itu menjadi pusat pelayaran.

Tentunya banyak lagi cerita, legenda bahkan mitos tentang Sriwijaya.

Pelaut-pelaut asing seperti China, Arab dan Parsi, mencatat seluruh peristiwa kapanpun kisah-kisah yang mereka lihat.

Para pelaut Arab dan Parsi menggambarkan keadaan Sungai Musi, dimana Palembang terletak, bagaikan kota di Inggris.

Kota Palembang digambarkan sebagai kota yang sangat besar.

Jika memasuki kota tersebut, kokok ayam jantan tidak berhenti bersahut-sahutan (dalam arti kokok sang ayam mengikuti terbitnya matahari).

Kisah-kisah perjalanan mereka penuh dengan keajaiban 1001 malam.

Pelaut-pelaut China mencatat lebih realistis tentang kota Palembang.

Mereka melihat bagaimana kehidupan penduduk kota yang hidup di atas rakit-rakit tanpa dipungut pajak.

Sedangkan bagi pemimpin yang hidup di tanah kering di atas rumah yang bertiang. 

Mereka mengeja nama Palembang sesuai dengan lidah dan aksara mereka.

Palembang disebut atau diucapkan mereka sebagai Po-lin-fong atau Ku-kang (berarti pelabuhan lama). 

Setelah mengalami kejayaan di abad-abad ke-7 dan 9, maka dalam kurun abad ke-12, Sriwijaya mengalami keruntuhan secara perlahan.

Keruntuhan Sriwijaya itu, baik karena persaingan dengan kerajaan di Jawa hingga pertempuran dengan kerajaan Cola dari India, tak terelakkan setelah bangkitnya kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara.

Kerajaan-kerajaan Islam yang tadinya merupakan bagian-bagian kecil dari kerajaan Sriwijaya, berkembang menjadi kerajaan besar seperti yang ada di Aceh dan Semenanjung Malaysia. *

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: