Honda

Ibnu Batutah, Pengembara Muslim yang Menjelajahi 44 Negara di Dunia

Ibnu Batutah, Pengembara Muslim yang Menjelajahi 44 Negara di Dunia

Ilustrasi --www.islampos.com

JAKARTA, PALPRES.COM - Nama Columbus, Marcopolo, dan James Cook, sudah sangat terkenal sebagai penjelajah dunia

Dalam Islam, juga ada tokoh yang tidak kalah hebatnya dari ketiga orang tadi. 

Namanya Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim at-Tanji dan bergelar Syamsudin bin Batutah

Ia terkenal dengan nama “Ibnu Batutah”. 

BACA JUGA:3 Provinsi dengan Pemeluk Kristen Terbesar di Indonesia, Apakah Sumsel Termasuk?

Dia merupakan Pengembara Islam yang tak tertandingi pada abad pertengahan. 

Seperti dikutip mimlabschoolstg.sch.id, Ia sangat terkenal akan hasil pengamatan dan penulisan dari perjalanan (rihlah) yang dilakukannya ke berbagai penjuru dunia selama hampir tiga dasawarsa. 

Muhammad atau Ibnu Batutah kelahiran Tangier (Thanjah), di Maroko yakni pada 25 Februari 1304 M. 

Setengah hidupnya dihabiskan untuk menjelajahi seluruh dunia Islam.

BACA JUGA:5 BLT Ini Bakal Dicairkan Mulai September, Sasar Hampir 30 Juta Penerima

Pasalnya ia telah menjelajahi lebih dari 120.000 kilometer dan menapaki 44 negara modern. 

Penjelajahan pertamanya dimulai saat menunaikan ibadah haji, dan kala itu Ibnu Batutah masih sangat muda yakni baru berusia 21 tahun. 

Kegemarannya mengunjungi banyak negara di dunia, untuk saling mengenal manusia dengan latar belakang dan budaya yang berbeda. 

Beberapa negara atau kota-kota besar yang ia jelajahi seperti negara di Afrika Utara, Iskandariyah, Dimyath, Kairo, Aswan di Mesir, Palestina, Syam, Mekah, Madinah, Najaf, Basrah, Syiraz di Iran. Moshul, Diyarbakr, Kufah, Bagdad, Jeddah, Yaman, Oman, Hormuz, dan Bahrain.

BACA JUGA:BLT Rp1.500.000 Siap Cair Mulai September, Ini Ciri dan Syaratnya yang Harus Diketahui!

Kemudian berlanjut ke Asia kecil, anak benua Kaaram, Rusia Selatan, Bulgaria, Polandia, Istirkhan, Konstantinopel, Sarayevo, Bukhara, Afghanistan, Delhi, India (tempat dia menjadi hakim di sana selama lima tahun), Maladewa, Cina, Ceylon, dan Bengali. 

Ia juga ternyata pernah ke Indonesia. 

Selanjutnya Ibnu Batutah pernah ke Irak, Iran dan kembali lagi ke Afrika, Mali, kemudian Fez, di mana ia menghabiskan tahun-tahun terakhir kehidupannya di sana di bawah kekuasaan Sultan Abu Inan.

Namun ternyata, Ibnu Bathuthah tidak meninggalkan karya sastra apa pun, bahkan tidak menulis satupun catatan perjalanannya secara teratur. 

BACA JUGA:Hadirnya Pesaing BeAT, Bodi Lebih Kekar dan Berotot dengan Mesin 150cc, Motor Apa Ya?

Ia hanya menceritakan kisah perjalanannya kepada orang lain, berupa peristiwa-peristiwa tertentu, dan beberapa informasi yang sepotong-sepotong.

Adalah Sultan Abu Inan yang memiliki inisiatif penerbitan buku kisah perjalanan Ibnu Bathuthah. 

Atas permintaan sultan tersebut, Ibnu Batutah mendiktekan cerita perjalanannya kepada juru tulis sultan, yakni Ibnu Jauzi yang merupakan teolog Andalusia. 

Catatannya dipenuhi peristiwa yang mengagumkan dan menyentuh. 

BACA JUGA:Nongkrong di Palembang dengan Vibes Bandung? Datang Aja ke Cafe Cantik Ini

Ceritanya diberi judul “Tuhfat al-Nazzar fi Ghara’ib al-Amsar wa al-Aja’in al-Asfar”.

Artinya: “Hadiah buat Para Pengamat yang Meneliti Keajaiban-Keajaiban Kota dan Kanehan-Keanehan Perjalanan”. 

Judul tersebut dikenal umum bernama “Rihlah Ibnu Bathutah” atau “Rihla”.

Ibnu Jauzi kemudian menuangkannya ke sebuah tulisan, dan memperbaiki bahasa Ibnu Bathutah. 

BACA JUGA:Jangan Lewatkan dan Klaim Segera Link DANA Kaget Hari Ini 02 September 2023, Saldo Rp65.000 Siap Banjiri Kamu

Akhirnya ia berhasil menyusun menjadi sebuah buku perjalanan yang lengkap dari segala aspek, dengan tetap mempertahankan urutan waktu perjalanan, dan menghubungkan dari satu kisah dengan kisah lain.

Seluruh perjalanannya dituangkan dalam buku tersebut.

Seperti perjalanannya ke ke Mekah melalui jalur darat, menyusuri pantai Afrika Utara hingga tiba di Kairo. 

Ibnu Batutah memilih jalur yang paling jarang ditempuh. 

BACA JUGA:WOW! Ada Hidden Gem Tempat Nongkrong Surganya Durian di Palembang

Pengembaraan menuju Sungai Nil, dilanjutkan ke arah timur melalui jalur darat menuju dermaga Laut Merah di ‘Aydhad. 

Tetapi, ketika mendekati kota tersebut, ia dipaksa untuk kembali dengan alasan pertikaian lokal. 

Namun pada akhirnya ia kembali lagi dan menunaikan haji di Mekah. 

Ibnu Batutah pernah juga menjelajahi Indonesia, seperti Pulau Sumatera

BACA JUGA: 7 Cara Mengatasi Penyakit ISPA, Nomor 6 Bisa Bikin Kamu Lega

Ketika Ibnu Batutah datang ke Kerajaan Samudera Pasai, ia terkagum-kagum akan keindahan yang ada di kota tersebut. 

Informasi mengenai Pulau Sumatera ini sangat penting bagi sejarawan untuk memahami perkembangan kerajaan itu.

Pada tahun 1369, di usia 65 tahun, Ibnu Batutah meninggal dunia, setelah 12 tahun menyelesaikan tulisannya, Rihlah. 

Penjelajah dunia, punya mental yang kuat, karena ia pastinya akan menemui banyak tantangan, seperti ombak besar bila melewati lautan.

BACA JUGA:Hias Teras Depan Rumah Minimalismu dengan Sentuhan Ini, Bagai Sambutan Ramah bagi Tamu, Coba Aja!

Seorang penjelajah harus selalu dalam kondisi fisik prima dan perlu persiapan uang, makanan, dan masih banyak yang lain. 

Namun dari perjalanan yang menantang itu, Ibnu Batutah telah memberikan gambaran betapa luasnya kekuasaan Allah SWT.  *

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: