Untuk memahami pembagian dialek yang benar, Anda harus membuat istilah yang terdengar lain oleh penutur bahasa lainnya.
Demikian misalnya untuk penutur bahasa Toba saya pinjamkan istilah Mandailing yang oleh penduduk Angkola, Batangtoru, Sipirok (dolok) dan Mandailing disebut dengan Mandailing.
BACA JUGA: Surat-surat Herman Neubronner van der Tuuk di Lampung, 1868-1869 (Bagian Kedelapan)
Jika para misionaris berbicara dalam dialek Angkola-Sipirok, maka itu membuktikan bahwa mereka belum mengelilingi daerah itu dan hanya terpaku pada obrolan penduduk setempat.
Bahwa hasil terjemahan saya ke dalam bahasa Toba di Sipirok tidak dapat dimengerti sepenuhnya, itu sangat masuk akal.
Oleh karena itu, saya menyarankan kepada semua misionaris yang saya kenal, untuk tinggal di luar Sipirok, di sebelah utara, karena saya pikir mereka bersedia bekerja sama dalam penerjemahan alkitab.
Hanya dua orang misionaris, Nommensen dan Johannsen, yang mendengarkan saran saya.
BACA JUGA: Surat-surat Herman Neubronner van der Tuuk di Lampung, 1868-1869 (Bagian Ketujuh)
Selebihnya menetap di Sipirok dan itu berarti di bawah pemerintah kita. Tempat tinggal di daerah bagian selatan Silindung tidak menguntungkan para misionaris, karena Islam sudah menyebar di daerah itu.
Misi itu berusaha membangun citra yang baik, paling tidak apabila kita mempercayai berita-berita yang disebar oleh majalah Barmen, tetapi mereka akan mendapat kesulitan, karena cara misionaris menyebarkan agama tidak seefektif umat Islam yang lebih berspekulasi pada kuantitas ketimbang kualitas dan hanya mengandalkan keturunan dari orang yang baru memeluk agama Islam.
Persaingan dengan agama Islam di sana selalu merugikan agama Kristen.
Bahwa Tuan Schreiber ingin memberikan terjemahan dalam dialek yang ia dengar sehari-hari, saya rasa itu sangat baik, tetapi apakah ia tidak merusak bahasa, itu masih menjadi pertanyaan.
BACA JUGA: Surat-surat Herman Neubronner van der Tuuk di Lampung, 1868-1869 (Bagian Keenam)
Ia menguntungkan bagi saya, karena sudah ada jemaat yang terbiasa dengan istilah-istilah baru, sehingga membuat penerjemah mampu menguji sejauh mana kata-kata baru dapat dimengerti.
Saya ingin tahu apakah Schreiber mampu – tanpa menyerap kata-kata dalam bahasa Melayu – membuat kata-kata untuk Roh Kudus, altar, rasul, dan sebagainya. Menurut pendapat saya, ia terlalu dini dalam membuat terjemahan itu, tetapi saya harus melihat hasil kerjanya sebelum saya mengatakan apakah terjemahan itu dapat digunakan atau tidak.
Saya khawatir bahwa ia akan merusak bahasa, karena justru ‘die geistlichen Dinge’ (hal-hal yang bersifat rohani) merupakan batu sandungan.