PALEMBANG, PALPRES.COM – Sejumlah penggiat sejarah dan sejarawan Sumatera Selatan kembali menelisik jejak ritual keagamaan di masa prasejarah.
Kegiatan yang dikemas dalam Seminar Sehari Hasil Kajian Koleksi Museum Negeri Sumatera Selatan (Sumsel) ini mengupas ritual keagamaan dalam tradisi masyarakat prasejarah di Sumsel.
Penggiat sejarah dari Universitas Sriwijaya (Unsri), Dr. Hudaidah, M.Pd berpendapat bahwa kesadaran masyarakat prasejarah dalam beragama dilihat dari adanya kematian.
Dari sini, masyarakat prasejarah merasa manusia yang hidup membutuhkan perlindungan dan tuntutan selama hidup di dunia.
BACA JUGA:Pemasangan Lift Ampera, Pemerhati Sejarah dan Stakeholder Harus Duduk Bersama
“Fungsi agama bagi masyarakat prasejarah memberikan efek pada semangat dalam menghadapi kehidupan, adanya ketenangan dan solusi setiap ada masalah,” ujarnya.
Menurut ahli, sambung Dr Hudaidah, konsep agama sendiri memiliki dua bagian yakni agama wahyu dan agama budaya atau yang dikenal dengan kepercayaan animism dan dinamisme serta potesme.
“Seperti yang kita pahami bahwa animism merupakan keyakinan adanya roh nenek moyang, dinamisme kepercayaan terhadap gunung dan lainnya sementara potesme memiliki keyakinan bahwa makhluk hidup itu mempunyai kekuatan,” jelasnya.
Seperti, lokasi komplek ritus yang menghadap ketinggian dan dekat dengan air. Mereka meyakini bahwa sesuatu yang tinggi itu ada ilmunya. Begitu juga dengan pola sebaran komplek ritus di pesemah terdapat kelompok keluarga dengan pola ritual bersama.
BACA JUGA: Benteng Kuto Besak, Saksi Sejarah dari Masa Ke Masa Kota Palembang
“Ritual bersama ini dilakukan menggunakan media penghubung seperti menhir, arca, lukisan dan dolmen. Mereka percaya bahwa media penghubung ini bisa mendekatkan diri kepada sang pencipta. Mereka menggunakan sesajen selanjutnya diletakkan di atas dolmen dan dibacakan mantra atau doa. Selanjutnya mereka makan bersama,” jelasnya.
Dalam posmologi ritus, sambung dia, persembahan kepada sang pencipta juga bisa dilakukan menggunakan pendekatan makhluk gaib.
Hal ini bisa dilihat dari beberapa temuan jejak keagamaan prasejarah yaitu tempayan kubur, archa ibu mendukung anak.
“Karakter yang dapat diamati keagamaan, menunjukkan masyarakat prasejarah sudah mengenal suatu toleransi,” katanya.
BACA JUGA:Jembatan Ampera, Simbol Kebangkitan Indonesia Setelah Kemerdekaan
Sementara itu, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Sumsel, Dr. Aufa Syahrizal, SP., M.Sc mengapresiasi hasil kajian ritual keagamaan pada masa masyarakat prasejarah.
Dia berharap, seminar ini bisa menghasilkan sebuah ide sehingga dapat mengembangkan ilmu tersebut.
“Saya memproyeksikan untuk mengangkat ritual buaya. Arca ini untuk meyakinkan hasil temuan tersebut dengan literasi atau kajian dari para ahli. Selanjutnya bisa dibahas dengan berbagai literasi yang ada,” katanya.
Menurut dia, banyak sekali temuan ritual buaya atau dikenal dengan pawing buaya. Dari temuan tersebut bisa dikaitkan dengan kepercayaan masyarakat di masa tersebut.
“Setelah dikaji oleh para pakar yang difasilitasi oleh Museum Negeri, baru dijadikan koleksi,” ujarnya.
BACA JUGA:Pemasangan Lift Jembatan Ampera Merusak Landmark Kota Palembang