Mempertahankan status quo, garis demarkasi antara Korea Utara dan Korea Selatan ditetapkan di sekitar Paralel ke-38, yang masih menjadi perbatasan antara kedua negara hingga saat ini.
Namun, secara resmi perang ini belum berakhir, karena hanya disepakati gencatan senjata, bukan perjanjian perdamaian.
Perang Saudara Korea memiliki dampak yang signifikan dalam geopolitik regional dan global.
Konflik ini memperkuat pembagian ideologis antara Barat dan Blok Timur selama Perang Dingin.
Selain itu, perang ini juga meningkatkan ketegangan dan rivalitas antara Amerika Serikat dan Tiongkok, yang berlanjut dalam persaingan global mereka selama beberapa dekade berikutnya.
Setelah perang berakhir dengan gencatan senjata, kedua Korea tetap memiliki hubungan yang tegang.
Tidak ada perjanjian perdamaian resmi yang ditandatangani, sehingga teknisnya kedua negara masih dalam keadaan perang.
Secara politik, Korea Utara secara resmi dikenal sebagai Republik Demokratik Rakyat Korea dan dikuasai oleh rezim yang dipimpin oleh Keluarga Kim.
Sedangkan Korea Selatan, dikenal sebagai Republik Korea, melalui proses demokratisasi, berkembang menjadi negara dengan ekonomi maju di dunia.
Perang Saudara Korea juga mempengaruhi hubungan internasional.
Amerika Serikat, sebagai sekutu utama Korea Selatan, meningkatkan komitmennya terhadap keamanan di wilayah Asia Timur setelah perang.
Kehadiran militer AS di wilayah tersebut menjadi salah satu faktor penting dalam pembentukan politik luar negeri di Asia Timur pada masa berikutnya.
Selain itu, perang ini juga menjadi contoh konflik proksi.
Uni Soviet mendukung Korea Utara sementara Amerika Serikat mendukung Korea Selatan.
Kedua negara tersebut menggunakan perang ini sebagai arena untuk mempromosikan dan mempertahankan ideologi masing-masing.