Tentunya pemutakhiran data harus dilakukan melalui kesepakatan warga di tempat itu. Melalui musyawarah desa yang disahkan oleh beberapa aparat desa.
Nah pada kenyataanya pemutakhiran itu jarang dilakukan karena keterbatasan dana dari pemerintahan daerah untuk melakukan proses peutakhiran tersebut.
Menurut proses yang seharusnya, setelah data didapat lalu disahkan dan diinput ke DTKS maka harus disahkan oleh pejabat daerah sekurang-kurangnya kepala dinas dan bupati.
Akan tetapi masih banyak didapati daerah yang sama sekali tidak melakukan update data kemiskinan di DTKS tersebut. Lebih tepatnya dengan persentase pemutahiran yang kecil.
Lalu bagaimana bisa data akan berubah jika update tidak pernah terjadi.
Hasilnya, tidak sedikit bansos tidak tepat sasaran.
Mungkin pas pendataan warga tersebut memang miskin akan tetapi bisa jadi dua tahun kemudian mereka mengalami kenaikan dari segi peningkatan penapatan dan ekonomi.
Sehingga ketika ada penambahan kuota penerima bantuan PKH maupun BPNT nama mereka masuk.
Karena memiliki kategori, dan juga NIK dan KK mereka tidak bermasalah alias padan di Dukcapil.
2.Mental masyarakat yang ingin terus miskin
Faktor kedua ini menjadi hal besar yang mesti juga di garis bawahi.
Kenapa demikian, karena mengubah pola pikir masyarakat saat ini semakin susah sekali dilakukan.
Ditambah lagi, bantuan yang rutin didapat dengan nominal yang besar selalu menggiurkan.
Pada kenyataanya setiap masyarakat yang telah mendapatkan bansos PKH dan BPNT atau bansos lain, bisa keluar dari kepesertaan penerima bansos jika mereka secara sadar mengundurkan diri.
Dengan cara menulis surat pernyataan diatas materai. Akan tetapi, sudah sekali saat ini untuk menemukan masyarakat yang secara sadar mengatakan mereka mampu dan menolak bantuan.
Dikarenakan mentalitas ingin terus miskin.