Cerita Prof. Iskhaq Iskandar, dari Kondektur Bus Kota Palembang jadi Guru Besar Universitas Sriwijaya

Jumat 06-09-2024,21:00 WIB
Reporter : Bethanica
Editor : Bethanica

PALEMBANG, PALPRES.COM- Jangan pernah takut bermimpi.

Itulah pesan hidup yang selalu dipegang teguh oleh Prof. Dr. Iskhaq Iskandar, MSc.

Meski pernah ditertawakan karena memiliki cita-cita yang dianggap temannya terlalu tinggi, Iskhaq yang pernah berprofesi sebagai kondektur bus kota, tetap teguh dengan impiannya.

Kini, ia berhasil meraih gelar Guru Besar di Universitas Sriwijaya, sebuah pencapaian yang membuktikan bahwa mimpi, sekecil apapun, dapat menjadi kenyataan jika diperjuangkan dengan sungguh-sungguh.

BACA JUGA:Pemprov Sumsel Terima Audiensi Dekan Fakultas Keguruan UNSRI Dukung Penuh Digelar Event SULE-IC

BACA JUGA:Prodi Arsitektur Unsri Bantu Kampung Perigi Kembangkan Kawasan Heritage Palembang Jadi Destinasi Wisata

Lahir di Desa Jelabat BK 9 OKU Timur, Provinsi Sumatera Selatan, pada 4 Oktober 1972, perjalanan hidup Iskhaq tidaklah mudah.

Di desa kecil ini, ia tumbuh dalam lingkungan yang serba terbatas, baik dari segi ekonomi maupun fasilitas.

Namun, dengan didikan yang kuat dari kedua orang tuanya dan semangat yang tak pernah padam untuk meraih cita-cita, Iskhaq mampu menghadapi berbagai tantangan.

Keterbatasan ekonomi yang dialami justru menjadi semangatnya untuk terus maju dan meraih prestasi.

BACA JUGA:5 Kampus Terbaik yang Mencatat Rekor MURI dan Dunia pada PKKMB Tahun 2024, Unsri Termasuk?

BACA JUGA:Menteri Teten Ungkap Rasio Kredit Terhambat UMKM Sudah Menyentuh 4 persen, Begini Sebabnya

Menurut anak pasangan H Abu Daud dan Hj Sri Utami ini, mimpi adalah kunci utama untuk maju. "Pertama, jangan takut untuk bermimpi, karena ketika kita tidak punya mimpi untuk masa depan, saat itulah keinginan kita untuk maju itu tidak ada dorongannya. Pendorong utamanya adalah mimpi," ujarnya dalam Webinar SEVIMA, belum lama ini.

Perjalanan hidup Iskhaq yang penuh perjuangan dimulai sejak ia masih kecil. Tinggal di desa terpencil, Icak—nama panggilan masa kecil—baru merasakan listrik saat ia duduk di kelas 2 SD.

Hal itu pun terjadi berkat seorang juragan yang membeli mesin diesel untuk mengalirkan listrik ke seluruh desa dengan iuran tertentu.

Kategori :