Baru pada tahun 1991, listrik dari PLN masuk ke desanya. Meski hidup dalam keterbatasan, hal tersebut justru membuat Iskhaq semakin gigih dalam meraih impian, menjadikannya sosok yang inspiratif bagi banyak orang.
BACA JUGA:DPR RI Minta Agar Gadget untuk Anak Dibatasi, Demi Cegah Potensi Kekerasan Seksual
BACA JUGA: 5 Fakta Menarik Tentang Kiper Timnas Maarten Paes yang Tampil Gemilang Saat Hadapi Arab Saudi
Jadi Kondektur Bus Demi Bertahan Hidup
Demi meraih cita-citanya, Iskhaq merantau ke Palembang untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang kuliah.
Di sinilah perjuangan hidupnya semakin diuji.
Dengan bekal uang saku yang sangat minim—hanya Rp 50 ribu setiap bulan untuk semua kebutuhan mulai dari uang kuliah, bayar kos, hingga makan—Iskhaq harus mencari cara untuk bertahan hidup.
Ia akhirnya tak ragu mengambil pekerjaan sebagai kondektur bus kota Palembang di Jurusan Kilometer 12 - Plaju.
Meski harus menahan rasa malu, terutama saat bertemu dengan teman-teman kuliahnya, Iskhaq tetap menjalani pekerjaan ini dengan semangat.
Baginya, tak ada yang lebih penting daripada bisa melanjutkan pendidikan.
"Bahkan istri saya saat ini (Silviana), juga ketemunya saat saya jadi kondektur bus. Di samping kita memang satu kampus di Universitas Sriwijaya. Saat itu saya malu, tapi saya lebih memilih malu daripada tidak makan," kenang Iskhaq.
Untuk menambah penghasilan, Iskhaq juga bekerja sebagai kuli panggul di pasar bersama teman satu kosnya.
Setiap pagi, usai Sholat Subuh, ia berjalan sejauh 3 kilometer menuju pasar untuk mengangkat barang-barang belanjaan milik orang.
Kehidupan yang keras ini membuatnya harus mengatur segalanya dengan sangat hemat, termasuk pola makannya.
Ia hanya makan dua kali sehari, pada pukul 10.00 dan pukul 17.00, demi bisa bertahan dalam kondisi yang serba terbatas.
"Sesekali kita makan mie yang direbus lebih lama dari umumnya, supaya mengembangnya besar dan lembek, jadi kenyangnya bisa seharian," kenang Iskhaq.