Masalah learning loss di Indonesia memiliki dimensi ketimpangan yang jelas.
Sekolah di kota besar mungkin sudah kembali normal dengan dukungan teknologi dan pelatihan guru yang memadai.
Namun, di daerah terpencil, keterbatasan instruktur menjadi masalah ganda yaitu guru sedikit, kualitas pelatihan rendah, dan motivasi pun menurun.
Sebuah studi Kemendikbudristek menunjukkan bahwa kemampuan literasi dan numerasi siswa SD setelah pandemi mengalami penurunan signifikan, terutama di kelas awal.
Guru mengaku kesulitan menyesuaikan metode belajar bagi siswa dengan kemampuan yang sangat bervariasi dari yang sudah siap lanjut, hingga yang belum bisa membaca dengan lancar.
Ini bukan sekadar learning loss, tapi learning inequality dimana ketimpangan belajar yang semakin dalam dan mengakar.
Mengajar di Tengah Luka Kolektif
Pascapandemi bukan hanya soal mengejar ketertinggalan kognitif, tetapi juga pemulihan emosional.
Banyak siswa kehilangan semangat belajar, mengalami kesulitan fokus, atau bahkan trauma karena kehilangan anggota keluarga selama pandemi.
Guru dituntut menjadi pendidik sekaligus pendamping emosional.
Namun, bagaimana jika mereka sendiri tidak mendapatkan dukungan psikologis dan pelatihan sosial emosional?
Kita sering lupa bahwa guru juga manusia.
Mereka tidak bisa diharapkan memulihkan anak-anak tanpa terlebih dahulu dipulihkan sistem yang menopang mereka.
Jalan Keluar: Memulihkan yang Memulihkan
Jika learning loss adalah luka, maka guru adalah tenaga penyembuhnya.
Tapi bagaimana mungkin penyembuh bekerja tanpa alat dan tenaga yang cukup?
Pemulihan pembelajaran pascapandemi harus dimulai dengan memulihkan kapasitas guru.
Beberapa langkah yang perlu dilakukan antara lain: