Integrasi Nasional Pasca Bencana di Sumatera

Senin 29-12-2025,11:38 WIB
Reporter : Fran Kurniawan
Editor : Fran Kurniawan

PALPRES.COM- Indonesia adalah negeri yang berdiri di atas mozaik keragaman. Dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas hingga Rote, kita menyaksikan betapa bangsa ini dibentuk oleh perbedaan bahasa, adat, agama, dan budaya. Namun, di balik keragaman itu, ada satu fondasi yang menyatukan: integrasi nasional. 

Integrasi bukan sekadar slogan, melainkan sebuah proses panjang yang diuji oleh sejarah, termasuk ketika bencana melanda. Sumatera, sebagai salah satu pulau besar dengan dinamika sosial dan politik yang kompleks, telah berulang kali menjadi saksi bagaimana bencana alam menguji sekaligus memperkuat rasa kebangsaan.

Gempa bumi, tsunami, banjir bandang, hingga letusan gunung berapi telah berulang kali menghantam wilayah ini. Bencana bukan hanya merenggut nyawa dan harta benda, tetapi juga mengguncang sendi-sendi sosial masyarakat. 

Sejarah menunjukkan bahwa setiap kali bencana melanda, bangsa Indonesia selalu menemukan cara untuk bangkit bersama. Tsunami Aceh 2004 adalah contoh paling nyata.

BACA JUGA:Gempa Magnitudo 3,9 Kembali Guncang Maluku Tenggara Barat Pagi Ini, Tak Berpotensi Tsunami

Dunia menyaksikan bagaimana tragedi besar itu justru menjadi momentum rekonsiliasi antara pemerintah pusat dan masyarakat Aceh. Konflik panjang perlahan menemukan jalan damai melalui proses pemulihan pasca bencana. Artinya, bencana bisa menjadi pintu masuk untuk memperkuat integrasi nasional, jika dikelola dengan bijak.

Banjir bandang dan longsor di Sumatera akhir 2025 bukan sekadar tragedi ekologis, melainkan stress-test bagi integrasi nasional. Lebih dari seribu korban jiwa, jutaan pengungsi, dan kerugian ekonomi triliunan rupiah menjadi realitas pahit. 

Namun, di balik itu, kita melihat solidaritas lintas daerah, lintas agama, bahkan lintas negara. Dalam perspektif teori integrasi sosial Émile Durkheim, bencana adalah momen di mana masyarakat kembali pada “solidaritas mekanik”—ikatan emosional yang lahir dari pengalaman bersama. Gotong royong, relawan, dan donasi adalah ekspresi nyata solidaritas mekanik yang memperkuat rasa kebangsaan.

Proses pemulihan pasca bencana tidak hanya soal membangun kembali rumah, jalan, atau jembatan. Lebih dari itu, pemulihan adalah membangun kembali rasa percaya, solidaritas, dan kebersamaan. Ada beberapa dimensi penting yang menjadikan pemulihan sebagai solusi integrasi nasional, yaitu : Dimensi Sosial: Pemulihan mendorong masyarakat untuk saling membantu. Gotong royong, yang merupakan nilai asli bangsa, kembali hidup. Ketika warga dari berbagai latar belakang turun tangan, integrasi sosial semakin kokoh.

Dimensi Politik: Pemerintah pusat dan daerah harus bekerja sama. Bencana memaksa birokrasi untuk menanggalkan ego sektoral. Sinergi ini memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap negara.

Dimensi Ekonomi: Bantuan dan pembangunan kembali membuka ruang kolaborasi lintas daerah dan pemerintah pusat. Sumatera yang bangkit pasca bencana tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga menjadi bagian dari kebangkitan ekonomi nasional.

Dimensi Budaya: Bencana seringkali melahirkan narasi baru tentang kebersamaan. Cerita-cerita tentang penyelamatan, solidaritas, dan pengorbanan menjadi bagian dari memori kolektif bangsa.

Dengan kata lain, pemulihan pasca bencana adalah laboratorium integrasi nasional. Ia mengajarkan bahwa bangsa ini hanya bisa bertahan jika bersatu. Ketika para founding father merumuskan dasar negara, mereka bersepakat bahwa Indonesia harus berdiri di atas persatuan.

Sumpah Pemuda 1928, Proklamasi 1945, hingga perumusan Pancasila adalah tonggak sejarah yang menegaskan pentingnya integrasi.

Mereka sadar, tanpa persatuan, bangsa ini akan mudah runtuh. Hikmah dari kesepakatan itu relevan hingga kini. Pasca bencana di Sumatera, kita diingatkan kembali bahwa integrasi bukanlah sesuatu yang datang dengan sendirinya. Ia harus diperjuangkan, dirawat, dan diuji. Integrasi nasional pasca bencana bukanlah tujuan akhir, melainkan proses berkelanjutan.

Kategori :