Honda

Penerapan Pidana Penjara di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA)

Penerapan Pidana Penjara di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA)

Sebagai Upaya Terakhir Terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum

 

Oleh : Reza Praditya Pradana, S.H.

Pembimbing Kemasyarakatan Ahli Pertama

Instansi : Balai Pemasyarakatan Kelas I Palembang

 

HUKUM pidana memiliki sifat ultimum remedium (Obat Terakhir) yang memiliki arti pemidanaan terhadap pelaku kejahatan diupayakan sebagai upaya terakhir dalam penegakan hukum. Dengan adanya sifat  ultimum remedium dalam hukum pidana bukan berarti pemidanaan terhadap pelaku kejahatan ditiadakan. Pelaku kejahatan tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa tetapi juga dilakukan oleh Anak-anak di bawah umur.

Pengertian anak dalam Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah ”Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”.

Pada prinsipnya menerapkan konsep pemidanaan kepada Anak merupakan suatu tindakan yang kurang arif dan bijaksana. Dikatakan kurang arif dan bijaksana, mengingat anak tersebut masih mempunyai kesempatan untuk memperbaiki integritas di masa yang akan datang.

Oleh karena itu jika ada seorang Anak yang melakukan tindak pidana sebisa mungkin tidak diproses hukum formal, namun menggunakan alternatif lain yaitu dengan cara diversi. Diversi secara tegas disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) yang disebutkan dalam Pasal 1 Angka 7 yaitu sebagai penyelesaian sengketa terhadap anak yang diselesaikan diluar peradilan pidana.

Mediasi yang dilakukan dalam diversi dilakukan untuk mencapai kesepakatan dengan melalui pendekatan Keadilan Restoratif. Dalam hal penempatan Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak merupakan upaya terakhir yang diberikan kepada Anak dengan beberapa pertimbangan Hakim yang telah diputuskan dalam Sidang Pengadilan hal tersebut biasanya sejalan dengan rekomendasi Penelitian Kemasyarakatan (Litmas) yang dibuat oleh Pembimbing Kemasyarakatan dimana beberapa pertimbangan tersebut terkait dengan keamanan diri Anak yang berkonflik dengan hukum.

Beberapa permasalahan yang Pembimbing Kemasyarakatan temukan di lapangan terkait dengan rekomendasi Litmas Pidana Penjara untuk menempatkan Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum dibina di LPKA diantaranya:

1. Dalam kasus Anak yang melakukan tindak pidana seperti pembunuhan demi keamanan diri Anak tersebut Pembimbing Kemasyarakatan merekomendasikan untuk dibina di LPKA;

2. Tidak sanggupnya lagi orang tua Anak untuk mendidik, membina, dan memberikan perhatian terhadap Anak, sehingga Anak dibina di LPKA;

3. Anak yang putus sekolah dapat kembali bersekolah di LPKA, karena di LPKA memiliki kerja sama dengan Sekolah Filial sehingga hak Anak untuk mendapatkan pendidikan masih terpenuhi;

4. Anak jalanan yang tidak ada orang tua / wali sehingga Anak tersebut direkomendasikan untuk dibina di LPKA;

5. Anak sudah berulang kembali melakukan tindak pidana sehingga harus dibina di LPKA;

6. Anak yang melakukan tindak pidana yang mana ancaman hukuman penjaranya 7 tahun atau lebih.

Dengan demikian bukan tanpa alasan Hakim dipersidangan memutuskan perkara Anak yang berkonflik dengan hukum dengan putusan pidana penjara di LPKA, dikarenakan tidak ada pilihan lain selain melakukan upaya terakhir tersebut. Namun demikian, penempatan Anak yang berkonflik dengan hukum di LPKA tidak sepenuhnya buruk dikarenakan Sistem Pembinaan yang diberikan sudah cukup baik dibandingkan dengan Sistem Pemenjaraan sebelumnya yang merupakan upaya pembalasan dan tidak menciptakan efek jera bagi Anak.

Di dalam LPKA juga Anak mendapatkan program pembinaan. Adapun jenis-jenis pembinaan di LPKA adalah sebagai berikut:

1. Pembinaan Kepribadian yang meliputi kegiatan kerohanian, kesadaran hukum, jasmani, kesadaran berbangsa dan bernegara serta kegiatan lainnya. Bentuk kegiatan dari Pembinaan Kepribadian yang umumnya dilakukan di LPKA antara lain seperti; kewajiban untuk melaksanakan ibadah sesuai agama dan kepercayaan misalnya sholat 5 waktu dan mengaji bagi beragama islam, penyuluhan hukum, mengikuti kegiatan upacara bendera, perayaan hari besar keagamaan dan sebagainya.

2. Pembinaan Keterampilan yang ditekankan pada pemberian kemampuan khusus sesuai dengan bakat dan minat Anak yang dapat menunjang potensinya seperti kegiatan pertanian, pertukangan, peternakan, otomotif, kesenian dan pelatihan vokasional yang dapat bermanfaat di dunia kerja.

3. Pendidikan Formal dan Non Formal yaitu bentuk pembinaan yang memfasilitasi Anak dari sisi akademik. Tidak dapat dipungkiri bahwa ketika seorang Anak harus mejalani masa pidana, maka seringkali akses mereka terhadap pendidikan menjadi terhambat. Oleh karena itu LPKA harus memastikan bahwa setiap Anak mendapatkan haknya akan pendidikan.

Hak Anak yang sedang menjalani pidana di LPKA telah diatur dalam Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang meliputi:

1. Mendapat pengurangan masa pidana

2. Memperoleh Asimilasi

3. Memperoleh Cuti Mengunjungi Keluarga

4.  Memperoleh Pembebasan Bersyarat

5. Memperoleh Cuti Menjelang Bebas

6. Memperoleh Cuti Bersyarat

7. Memperoleh hak-hak lain sesuai ketentuan.

Pembimbing Kemasyarakatan juga sangat berperan dalam proses reintegrasi sosial Anak setelah Anak sudah selesai menjalani pembinaan di LPKA yang mana tugas pembimbing kemasyarakatan yaitu melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan terhadap Anak yang memperoleh Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat. Serta juga pembimbing kemasyarakatan memiliki fungsi untuk menyadarkan Anak untuk tidak melakukan kembali tindak pidana, menasihati Anak untuk selalu dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang positif / baik, kemudian menghubungi dan melakukan kerja sama dengan pihak ketiga / pihak tertentu dalam menyalurkan bakat dan minat anak sebagai tenaga kerja untuk kesejahteraan masa depan anak tersebut, dan dapat mengubah stigma buruk masyarakat terhadap anak menjadi stigma yang lebih baik dan tentunya dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat. ***

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: