Kontroversi Tes Kehamilan di Sekolah, Upaya Preventif Atau Diskriminatif? Begini Kata Guru Besar UIN Palembang

Kontroversi Tes Kehamilan di Sekolah, Upaya Preventif Atau Diskriminatif? Begini Kata Guru Busar UIN Palembang--Istimewa
BACA JUGA:Pj Bupati Asmar Pastikan 33 Puskesmas di OKI Siap Layani Cek Kesehatan Gratis
BACA JUGA:MANTAP! Kini 42 Puskesmas di Palembang Akan Berikan Pelayanan Kesehatan Gratis
Padahal remaja yang hamil di usia memiliki dampak negative, sebagaimana hasil penelitian Puji Hastuti (2021) diketahui bahwa hal ini berdampak fisik yaitu kelahiran premature, anemia dan hipertensi selama kehamilan, percobaan aborsi, dampak psikologis berupa perasaan takut, tertekan, rasa bersalah dan kecewa dengan diri sendiri, dampak sosial berupa putus sekolah, stigma masyarakat karena dianggap sebagai kelompok bermasalah, tidak mendapat dukungan dari lingkungan dan dampak ekonomi kesulitan mencari pekerjaan sehingga kesulitan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Terkait dengan hal tersebut, sekolah sebagai bagian dari Tripusat Pendidikan memiliki peran mengedukasi peserta didik dalam memberikan informasi bagaimana caranya mengontrol diri dari hasrat seksual.
Edukasi seksual bukan hanya soal mengenali anatomi tubuh atau menghindari kehamilan. Lebih dari itu, edukasi ini juga harus membahas konsep persetubuhan (consent), risiko penyakit menular seksual, kanker mulut rahim, kesehatan reproduksi hingga tanggung jawab bersama dalam hubungan seksual.
Hasil penelitian Yulia Dewi (2013) mengemukakan bahwa pendidikan kesehatan reproduksi dapat menurunkan kecenderungan perilaku seksual pada remaja.
BACA JUGA:Indonesia Masuk Barisan Negara dengan Tingkat Kelaparan Tertinggi di ASEAN, Program MBG Sudah Tepat?
BACA JUGA:Tunggu Apa Lagi? Dapatkan Saldo DANA Rp250.000 dari Aplikasi Penghasil Uang Terbukti Membayar
Sebuah studi di Amerika Serikat menemukan bahwa pendanaan untuk pendidikan seks komprehensif berhasil mengurangi tingkat kelahiran remaja di tingkat regional lebih dari 3%. Negara-negara di Eropa, seperti Italia, Jerman, dan Swiss, memiliki tingkat kehamilan remaja yang rendah kurang dari 4 kelahiran per 1.000 remaja perempuan.
Hal ini sebagian besar disebabkan oleh penerapan sex education yang komprehensif di sekolah-sekolah mereka.
Di sana, seksualitas bukan sekadar hal yang tabu, tetapi dipahami sebagai bagian dari kehidupan yang harus diajarkan dengan bertanggung jawab.
Karena itu menurut hemat penulis sekolah hendaklah fokus pada pencegahan melalui pendidikan seks dari pada menerapkan kebijakan yang bersifat represif dan menghukum Perempuan.
BACA JUGA:Sri Mulyani Blokir Anggaran Proyek IKN Rp14,87 Triliun, Cuitan Unik Joko Anwar Bikin Salfok Netizen
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel
Sumber: