5 Pasal Kontroversi dan Multitafsir RUU Perampasan Aset, Ini Penjelasan Prof. Dr. Harris Arthur Hedar
Prof. Dr. Harris Arthur Hedar, SH, MH, Guru Besar Universitas Negeri Makassar.--SMSI
Risikonya, pedagang atau pengusaha yang lemah dalam administrasi pembukuan, kekayaannya bisa dianggap 'tidak sah',” ujar Harris Arthur Hedar.
Demikian juga Pasal 3, yang menyatakan aset dapat dirampas meskipun proses pidana terhadap orangnya tetap berjalan.
BACA JUGA:Kompak! Jurnalis Media Center Siap Dukung Kejari Lubuk Linggau Dalam Penegakan Hukum
BACA JUGA:Posbankum Mulai Merata di Sumsel, Herman Deru Tegaskan Pentingnya Literasi Hukum
Ini akan menimbulkan dualisme hukum perdata dan pidana.
Risikonya masyarakat bisa merasa dihukum dua kali: aset dirampas, sementara dirinya tetap diadili.
Berikutnya Pasal 5 ayat (2) huruf a, mengatakan perampasan dilakukan bila jumlah harta dianggap 'tidak seimbang' dengan penghasilan sah. Persoalannya frasa kalimat 'tidak seimbang' sangat subjektif.
Risikonya seorang petani yang mewarisi tanah tanpa dokumen lengkap bisa dicurigai, karena asetnya dianggap lebih besar dari penghasilan hariannya.
BACA JUGA:Polda Sumsel Terima Kunker Komisi III DPR RI, Fokus Legislasi Hukum Acara Pidana
“Pasal 6 ayat (1) juga perlu dicermati. Aset bernilai minimal Rp 100 juta bisa dirampas.
Persoalannya ambang batas nominal bisa salah sasaran.
Karena seorang buruh yang berhasil membeli rumah sederhana Rp 150 juta bisa terjerat, sementara penjahat bisa menyiasati dengan memecah aset di bawah Rp 100 juta,” paparnya.
Potensi Merugikan Ahli Waris
BACA JUGA:Kapolres Musi Rawas Kunjungan Kerja ke Kajari, Perkuat Sinergi Penegakan Hukum
BACA JUGA:Penasihat Hukum Korban Pengancaman Pertanyakan Perkembangan Laporan Kliennya
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber: smsi
